EjB3vSKmQo697EadCV9cGlL38GnDuoUNUgLqklCB
Bookmark

10 Aliran Feminisme: Mengenal Pemikiran dan Perjuangan Perempuan

Feminisme adalah suatu ideologi pembebasan perempuan yang akhir-akhir ini banyak diperbincangkan baik itu di lingkungan akademik, tempat kerja, media sosial dan seterusnya. Istilah feminisme bukan hanya menjadi wacana dalam sejarah gerakan perempuan, namun telah menjadi suatu ideologi bagi gerakan perempuan dalam menuntut keadilan dan melawan setiap dominasi patriarki. 

Aspek historis itu menunjukan bahwa perjalnan feminisme merupakan langkah perjuangan yang cukup panjang. Di sisi lain feminisme dalam gerakannya mempuyai beberapa aliran-aliran yang memungkinkan perbedaannya, sehingga sekiranya sangat penting mengenal aliran-aliran dalam feminisme tersebut. 

Untuk itu pembahasan kali ini akan menguraikan 10 aliran feminisme sebagai langkah awal mengenal gerakan perempuan dalam menuntut hak bagi perempuan dan menjadi gerakan yang terorganisasi dalam menciptakan keadilan bagi perempuan, serta transformasi sosial yang bertujuan untuk menciptakan dunia bagi perempuan yang lebih baik.

10 Aliran Feminisme: Mengenal Pemikiran dan Perjuangan Perempuan
Gambar. 10 Aliran Feminisme. Ilustrasi. pixabay.com

Aliran Feminisme Liberal

Perkembangan feminisme liberal dapat dilihat pada abad ke-18, mereka berdasarkan pada prinsip-prinsip ideologi liberalisme, yang menganggap semua manusia mempunyai nalar baik itu perempuan maupun laki-laki. Sehingga setiap manusia harus memiliki kesempatan yang sama untuk memajukan dirinya. Dalam pandangan feminisme liberal, kaum perempuan ditindas karena mereka belum memperoleh dan terpenuhinya hak-hak perempuan. 

Untuk itu feminisme liberal dalam upaya pemenuhan tersebut lebih memfokuskan pada perubahan undang-undang dan hukum yang dianggap mendiskriminasi atau menindas kaum perempuan, seperti konsep kepala keluarga konvensional yang berlaku secara universal adalah suami sebagai pemberi nafkah dan pelindung keluarganya.

Baca juga:

Bagi feminisme liberal perundang-undangan saat itu tidak sesuai dengan konsep kebebasan individu untuk mandiri dan menentukan jalan hidupnya sendiri. Konsep kepala keluarga ini menurut mereka dapat membuat perempuan menjadi ketergantungan pada laki-laki. Di sisi lain terdapat pembagian dalam feminisme liberal yang terdiri dari sua bagian, yaitu feminisme liberal klasik dan feminisme liberal egilitarian.

Pada kaum feminis liberal klasik, negara yang ideal harus melindungi kebebasan sipil (misalnya, hak milik, hak memilih, kebebasan menyampaikan pendapat kebebasan untuk berbeda, kebebasan berserikat), dan telah melakukan campur tangan dengan pasar bebas, negara malah memberikan semua individu kesempatan yang setara, untuk menentukan akumulasinya sendiri di dalam pasar tersebut.

Adapun feminis liberal egilitarian seringkali dikenal dengan aliran yang berorientasi pada kesejahteraan, mereka menganggap negara yang ideal lebih berfokus pada keadilan ekonomi kebebasan sipil. Tidak hanya itu mereka juga mengungkapkan bagaiamana para individu memasuki pasar dengan perbedaan-perbedaan.

Pasar yang dimasuki oleh individu ini memiliki perbedaan berdasarkan pada posisi asal atau aspek keuntungan, bakat yang inheren, dan keuntungan-keuntungan lainnya. Walaupun ada perbedaaan dalam feminisme liberal ini, setidaknya keduanya memperjuangkan keadilan, kesejahteraan dan kebebasan untuk perempuan.

Aliran Feminisme radikal

Aliran feminisme radikal berkembang pesat di AS pada kurun waktu 1960-an dan 1970an. Teori ini walaupun mempunyai dasar filosofi yang sama dengan teori feminisme sosialis, namun feminisme radikal lebih memfokuskan serangannya pada keberadaan institusi keluarga dan sistem patriarki, (Danovan, 1994:142-143). Keluarga diangapnya sebagai institusi yang melegitmasi dominasi pria (patriarki) sehingga perempuan ditindas. 

Perbedaan feminisme liberal dengan feminisme radikal adalah pada posisi melihat sumber permasalahannya. Feminisme liberal lebih melihat pada persoalan hak kebebasan, individu dan kesempatan pada kaum perempuan yang didiskriminasi. Sedangkan feminisme radikal melihas sumber permasalahan pada persoalan ideologi, yaitu patriarki.

Manifesto feminisme radikal yang diterbitkan dalam Notes from the Second Sex (1970) menganggap lembaga perkawinan sebagai formalisasi untuk menindas perempuan, sehingga tugas utama para radikal feminis adalah untuk menolak institusi keluarga baik pada teori maupun praktis, (Danovan, 1994: 143). 

Untuk itu feminis radikal menolak bekerja sama dengan laki-laki sebagaimana hal ini juga menjadi kiritikan mereka pada feminisme liberal, yang mereka anggap memperuajng hak perempuan masih dibantu oleh kaum laki-laki. 

Feminis radikal selalu mencurigai laki-laki ketika berbicara tentang gerakan perempuan dalam menunutut haknya, sebagaimana yang telah dikatakan bahwa feminis radikal menganggap penindasan terhadap perempuan terjadi karena dominasi laki-laki atau ideologi patriarki.

Feminisme radikal cenderung membenci laki-laki sebagai individu dan mengajak perempuan untuk mandiri bahkan tanpa perlu keberadaan laki-laki dalam kehidupan wanita. Elsa Gildow (1977)  dalam Lesbianism as a Liberating Force mengatakan bahwa menjadi lesbian adalah telah terbebas dari dorninasi laki-laki baik internal maupun eksternal, (Faderman: 1981). 

Artinya feminis radkal mendukung lesbian sebagai bentuk kemandirian perempuan agar tidak tergantung pada laki-laki, dan jika ada yang menganggap menjadi lesbian adalah gangguan kesehatan mental, maka bagi feminis liberal anggapan tersebut terjadi karena didominasi ideologi patriarki.

Aliran Feminisme Anarkis

Feminisme Anarkisme lebih bersifat sebagai suatu paham politik yang mencita-citakan masyarakat sosialis dan menganggap negara dan sistem patriaki atau dominasi laki-laki adalah sumber permasalahan yang sesegera mungkin harus dihancurkan. Feminisme Anarkis beranggapan bahwa negara dan patriarki adalah penyimpangan yang sama. 

Bagi mereka menghancurkan negara adalah menghancurkan pelaku utama patriarki yang terlembagakan, menghapuskan patriarki adalah menghapuskan negara. Teori ini meyakini bahwa setiap negara selalu tidak sah. la juga yakin bahwa alat yang digunakan untuk mengubah masyarakat harus merupakan model-model masa depan masyarakat itu sendiri. 

Oleh karenanya kelompok kelompok kerja sama perempuan dan kelompok yang meningkatkan kesadaran perempuan biasa memberikan kontribusi lebih penting, dalam sosial dan ideologi daripada jumlah mereka atau status ekonomi yang menjadi dampaknya. Hal ini terbungkus dalam slogan”personal is political”. Feminisme anarkis menolak alat-alat seperti teori persetujuan karena hal ini mengabsahkan penggunaan kekuasaan negara secara terbatas.

Aliran Feminisme Marxis-Sosialis

Aliran feminisme ini  lebih fokus untuk membebaskan perempuan dari pengotakan kelas, patriarki, seks, serta kapitalisme. Kehadiran alina feminisme ini lebih cenderung pada isu-isu perempuan baik itu dalam ruang lingkup domestik maupun publik, yang mengkampanyekan sistem pengupahan kerja domestik pada perempuan dan mereka mensosialisasikan pekerjaan rumah tangg serta tentang pengaushan anak.

Teori Marx berdampak besar bagi aliran feminisme marxis-sosialis yang terdapat relevansi tertentu mengenai gagasan marx, dalam "German Ideology and Capital" (1867), pembagian kerja dalam keluarga menjadi bentuk pertama kepemilikan atas orang oleh orang lain. 

Marx memahami bahwa perbudakan istri dan anak-anak oleh suami adalah bentuk kepemilikan pribadi (private pro perty). Teori-teori Marx yang lain hubungan dengan feminisme adalah konsepnya mengenai nilai tukar, nilai guna dan nilai lebih (surplus value).

Namun demikian meski marxisme secara teori mendukung kebebasan perempuan, ada perbedaan di antara feminisme dan marxisme, yaitu argumen mengenai mana yang menjadi prioritas; penindasan kelas atau penindasan seksual. Feminisme marxis mendasarkan diri pada praksis yang mengaitkan antara kesadaran dan kausalitas sosial.

Adapun feminisme sosialis mempunyai kesepemahaman dengan feminis radikal dan percaya pada Personal is Political. Feminisme sosialis menolak pembagian kerja secara seksual. Mereka mengembangkan konsep marxisme tentang dasar material dari masyarakat untuk memasukkan semua aspek termasuk reproduksi.

Aliran Feminisme Psikoanalis Gender

Kehadiran feminisme ini baerawal dari argumen yang mengganggap perempuan iri terhadap laki-laki karena tidak memilki penis, sehingga hal inilah yang menjadikan perempuan itu inferior dan argumen ini dikeluarkan oleh tokoh psikoanlaisis yaitu Sigmund Freud. 

Pandangan ini ditanggapi oleh Beovior ketika menulis the second sex bahwa pandangan ini menjadikan perempuan sebagai makhluk inferior, sehingga perempuan tidak dipandang sebagai subjek.

Perempuan tidak dijadikan subjek melainkan objek membuat perempuan banyak mengalami penindasan seksual seperti pemerkosaan, pelecehan dan menganggap perempuan seperti benda atau telah dikomoditifikasi. 

Selain dari perbedaan jenis kelamin yang menjadikan perempuan mengalami penindasan, aliran feminisme psikoanalisis dan gender juga melihat bahwa cara perempuan berpikir, psyche dari perempuanlah yang menjadikan mereka mengalami penindasan.

Aliran Feminisme Eksistensialis

Feminisme eksistensialis masuk dalam gelombang kedua gerakan feminisme dan berkembang pada tahun 1940. Pemikiran Jean Paul Sartre dengan karyanya Being and Nothingness dan Simon de Beavoir dengan karyanya  The Second Sex banyak menjadi pembahasan dalam aliran feminisme ini. Pemikiran mereka mendukung perempuan untuk bebas mendefinisikan makna keberadaannya di dunia ini. 

Meskipun kedua pemikiran di atas terdapat perbedaan dalam feminisme tentang  'ada' atau kensep mengenai diri. Keduanya saling menginspirasi dalam membicarakan tentang opresi perempuan, sedangkan konsep mengenai 'ada' yang dibicarakan di sini terdapat dua modus, yaitu 'ada pada dirinya, 'ada bagi dirinya. Kemudian dari kedua konsep ada tersebut memunculkan ada yang ketiga, yaitu 'ada untuk orang lain'.

Di sisi lain konsep Sartre yang menjelaskan tentang 'diri' atau 'ada' dan merupakan suatu konsepsi yang paling dekat dengan pembicaraan mengenai feminisme yaitu tentang 'ada untuk orang lain', bila dilihat pada pembahasan di atas maka hal itu adalah kategori 'ada yang ketiga'. 

Menurut (Adawiah, 2015) Beauvoir memanfaatkan kerangka ontologis dari Sartre tersebut dalam menjelaskan opresi (penindasan) terhadap perempuan. Feminisme eksistensial bagi Simone de Beauvoir keberadaan perempuan dianggap sebagai objek bukan subjek atau seorang liyan.

Beauvoir mendefinisikan liyan yang ia bicarakan tentang kritik mengenai perempuan dalam data biologi, psikoanalisis, dan materialisme sejarah, fakta sejarah dan mitos menurut lima pengarang laki-laki. Menurut Beauvoir, perempuan harus menjadi tidak narsis, maupun dalam cinta serta mistis agara mereka tidak menjadi sebagai objek atau sang liyan. 

Aliran Feminisme Post Modern

Feminisme post modern memanfaatkan pandangan eskistensialis seperti Simon de Beavoir tentang the second sex. Kalimat ini menjadi pertanyaan mengapa perempuan menjadi sang Liyan? atau berbeda dari laki-laki yang melompat lebih jauh menuju kebebasan, sedangkan perempuan selalu di bawah, imanen dan ditentukan takdirnya seakan tidak mempunyai pilihan. 

Di sisi lain sebagai Liyan, feminisme post modern selalu menjaga jarak atau mencurigai setiap hal yang di anggap baik bagi perempuan. Karena pemahaman itu bisa saja datang dari konsturksi laki-laki, sehingga feminis post modern juga memanfaatkan konsep defferent dari Deridda bahwa semua hal itu harus di dekonstruksi. 

Dekonstruksi merupakan sikap kritis pada sesuatu yang dianggap baik, benar dan indah, sehingga mereka mencoba mencari kemungkinan-kemungkinan lain. Feminis post modern mempunyai keyakinan yang dekonstruksionis seperti anggapan bahwa baik identitas diri maupun kebenaran tentang kehiduapn kita dan bahasa kita merupakan strukutur yang dipaksakan kepada kita, (Tong, 2008:28). 

Aliran Feminisme Multikultural dan Global

Pembahasan dalam aliran feminisme multikultural dan global yaitu membicarakan mengenai permasalahan ras, kebudayaan, etnis, dan gender yang dianggap hal tersebut membatasi ruang gerak perempuan. Selain itu aliran ini memberikan cara pandang bahwa perempuan itu heterogen namun mempunyai beragam irisan yang bertaut seperti umur, status sosial ekonomi, pendidikan, agama, budaya, kewarganegaraan, dan lokasi. 

Bagi aliran feminisme ini menganggap bahwa penindasan terhadap perempuan sangat beragam, yang sesuai dengan pengalaman dari identitas mereka masing-masing dan hal itu tidak saja bersifat komunal melainkan global. Sehingga kehadiran feminisme multikultural dan global ini berusaha mengingatkan bahwa penindasan terhadap perempuan tidak bersifat hanya satu defenisi atau titik tertentu.

Mereka menunujkan bahwa penindasan perempuan sangat beragam karena tidak luput dari keterkaitan misalnya antara kelas, ras, seksual, umur, agama, pekerjaan dan kesehatan. Sebagaimana dalam gerakan feminisme pada saat itu tidak membicarakan perempuan dalam skala yang luas, melainkan tertuju pada perempuan berkulit putih. Sedangkan perempuan kulit hitam mereka anggap telah disingkirkan, sehingga persoaln alairan ini membicarakan perosalan ras dalam perjuangan feminisme.

Aliran Feminisme Postkolonial 

Aliran Feminisme post kolonial juga membahas tentang isu-isu perempuan secara global, namun menolak penguniversalan terhadap perempuan. Hal ini karena aliran ini menganggap bahwa pengalaman dan kehidupan perempuan yang berada pada negara di dunia ketiga yang merupakan bekas penjajahan atau koloni, mereka anggap berbeda dengan pengalam perempuan yang ada atau berlatar belakang di negara dunia pertama. 

Bagi aliran feminisme post kolonial melihat bahwa  selain merasakan penindasan berbasis gender, perempuan dunia ketiga jugua telah mengalami penindasan antar ras, suku, bangsa dan agama serta bagi mereka hal inilah yang menjadikan perempuan dunia ketiga mengalami penindasan yang paling berat.

Dengan demikian yang menjadi fokus utama dari aliran feminisme post kolonial adalah menggugat segala bentuk penjajahan terhadap perempuan dunia ketiga baik itu fisik, pengetahuan, nilai-niali, cara pandang, serta mentalitas dari masyarakat tersebut. Sebab dengan cara penjajahan seperti ini yang membuat perempuan dunia ketiga yang berdasarkan pada ras, jenis kelamin serta kelas yang dikekalkan dari setiap institusi-institusi baik itu ekonomi, sosial maupun pendidikan. 

Aliran Ekofeminisme

Aliran ekofeminisme memandang erat antara perempuan dan alam, artinya ekofeminsme tidak hanya berbicara tentang keadilan bagi perempuan saja, melainkan alam. Menurut Waren alam telah difeminisasi  karena didominasi oleh kerangka pemikiran patriarki yang hirarkis, dualistik dan opresif. 

Lanjut Waren pemeikiran seperti itu membuat perempuan dinaturalisasi dengan gambaran hewani lainnya dan dijadikan objek bukan subjek. Sama halnya dengan alam yang dianggap sebagagi objek untuk dikuras dan dieksploitasi, (Tong, 1998: 360).

Aliran ekofeminisme ini juga dianggap sebagai gelombang ketiga, yang memberikan varian baru dari teori feminisme dengan berangkat dari perspektif lingkungan. Menurut (Adams, 2007:1-8) menjelaskan konteks ekofeminisme ini, tidak terbatas pada melihat perempuan dan alam sebagai properti atau melihat laki-laki sebagai kurator budaya dan perempuan sebagai kurator alam. Akan tetapi secara lebih jauh melihat bagaimana laki-laki mendominasi perempuan dan manusia mendominasi alam.

Referensi

Adams, Carol. 2007. Ecofeminism and the SacredContinuum. pp. 1–8.

Eichler, M. 1987. "Family Change and Social Policies" in : Anbn et.al (eds) Family Matters Toronto: Methuen.

Faderman, Lilian. 1981.  Surpassing the Love of Men, Romantic Friendship and Lave Between Women from the Renaissance to the Present': New York: Morrow.

Josepjine, Donovan. 1994. Feminist Theory, New York: Continuum.

Martha, Shelley. 1970. "Notes of a Radical Lesbian " dalam Morgan, R (ed) Sisierhd is PaoerJitl:An Anthologi of Writtingsfrom Women'sLiberation Movement New York, Vintage.

Tong, Rosemarie. 1989. Feminist Thought, Westview Press.

Post a Comment

Post a Comment