EjB3vSKmQo697EadCV9cGlL38GnDuoUNUgLqklCB
Bookmark

Perkembangan Gerakan dan Gelombang Feminisme

Feminisme adalah gerakan sosial, politik, dan budaya yang berjuang untuk kesetaraan gender antara perempuan dan laki-laki. Selama beberapa dekade terakhir, feminisme telah mengalami perkembangan dan gelombang yang berbeda-beda. 

Hodgson Wright (2006) mengungkapkan bahwa Gerakan feminisme awal sebagai usaha-usaha dalam menghadapi patriarki antara tahun 1550-1700 di Inggris. Ada tiga cara perjuangan dari perjuangan feminisme awal, Pertama merevisi esensials subordinasi perempuan dalam ajaran Gereja.

Mengenal Gerakan dan Gelombang Feminisme
Gambar. Mengenal gerakan dan gelombang feminisme. Sumber. pixabay.com

Perjuangan ke-dua dalam feminisme awal adalah menentang berbagai buku yang bersikap cenderung mengekang perempuan pada zaman tersebut, ketiga membangun solidaritas antar penulis perempuan.

Untuk itu feminsime yang merupakan gerakan perempuan ini sangat penting dipahami sebagai bagian dalam pemahaman kita tentang bagaimana perempuan menuntut hak-haknya. Maka dari itu artikel ini berusaha memberikan secara ringkas berbagai tahapan dalam gerakan dan gelombang feminisme.

1. Gelombang Feminisme Pertama (1848-1920)

Tulisan karya Mary Wollstonecraft The Vindication of the Rights of Woman pada tahun 1792 dianggap sebagai dimulainya feminisme gelombang pertama, sehingga perempuan mencapai hak pilih pada awal abad ke-20. 

Sanders (2006) melihat tulisan dari Wollstonecraft sebagai cikal bakal gerakan feminisme modern yang menyerukan pengembangan sisi rasional pada perempuan dan menuntut agar anak perempuan dapar belajar di sekolah pemerintah untuk kesetaraan dengan anak laki-laki. Artinya gerakan awal ini menuntut hak pendidikan yang sama antara perempuan dan laki-laki sebagai manusia yang mempunyai daya nalar.

Tidak hanya menuntuk tentang kesetaraan di dalam dunia Pendidikan melainkan, Gerakan feminisme awal juga membicarakan tentang kesempatan kerja bagi kaum perempuan dan hak-hak legal perempuan dalam pernikahan maupun perceraian. Feminsme gelombang pertama juga membicarakan usaha perempuan untuk memperjuangkan hak perempuan setelah menikah dan hak asuh anak setelah perceraian. 

Sebagaimana Caoline Norton yang menjadi contoh dalam memperjuangkan hak perempuan yang sudah menikah untuk mendapatkan hak asuh anaknya setelah ia bercerai (Gleadle: 2002).

Di Inggris meningkatnya jumlah perempuan di dunia kerja sehingga menuntut ketersediaan sekolah yang dapat memperkerjakan perempuan sebagai tenaga kerja yang professional, selain itu meluasnya keterlibatan perempuan di dunia pendidikan sehingga melahirkan ide tentang perempuan juga berhak mendapatkan hak pilih (Sanders: 2006). 

Di sisi lain untuk melihat lebih lanjut tentang apa itu feminisme, maka dapat dilihat bisa dibaca pada artikel berikut ini:

Baca juga:

2. Gelombang Feminisme Kedua (1960-1970-an)

Terbitnya The Feminine Mystique karya Bety Freidan 1963 dan diikuti dengan berdirinya National Organization for Woman (NOW) pada tahun 1966, serta munculnya  kelompok-kolompok conscious raising (CR) pada akhir tahun 1960-an menjadi cikal bakal dimulainya feminsme gelombang kedua. 

Gelombang kedua dari feminisme ini merujuk pada pembahasan tentang “women liberations” atau pembebasan perempuan, yang dianggap sebagai suatu gerakan revolusioner kolektif. Kehadiran mereka adalah bagian dari keresahan atas kaum perempuan yang mengalami berbagai diskriminasi, walaupun pada feminisme gelombang pertama dwanggap sampai pada tingkat perjuangan tentang emansipasi yang mempunyai legalitas dan politis.

Untuk itu, feminisme gelombang kedua lebih fokus pada isu-isu yang secara langsung mempengaruhi kehidupan perempuan: reproduksi, pengasuhan anak, kekerasan seksual, seksualitas perempuan dan masalah keluarga (Gillis, et.al., 2004).

Baca juga:

Menurut Thornham (2006), feminisme gelombang kedua di AS dapat dikelompokkan menjadi dua aliran, yaitu yang kanan cenderung lebih liberal dan yang kiri dianggap ekstrim. Hal ini akan diuraikan sebagai berikut:

  • Golongan Kanan (Liberal) 

Kelompok ini disebut kebebasan dan bertujuan untuk memperjuangkan partisipasi perempuan dalam semua kehidupan sosial, serta hak dan kewajiban seperti laki-laki. Aliran ini tergabung dalam National Organization for Women (NOW) yang didirikan oleh Betty Freidan pada tahun 1966.

  • Golongan Kiri (Radikal)

Mereka yang merasa tidak difasilitasi dalam memperjuangkan kebebasan feminis kontemporer masih berbeda perbedaan ras dan kelas serta protes terhadap kekejaman Amerika dalam perang dengan Vietnam (Siegel: 2007).

Kelompok ini percaya bahwa kekuasaan patriarki beroperasi dalam institusi individu seperti pernikahan, menjadi orang tua, dan kehidupan seks (Genz dan Brabon, 2009: 48). Dalam pemahaman kelompok ini, perempuan telah dipaksa oleh budaya patriarki untuk bersikap acuh tak acuh, luwes, dan lemah lembut. 

Karena itu, banyak dari mereka menentang kontes kecantikan sebagai sarana untuk memberi makan perempuan dengan standar kecantikan yang merendahkan status perempuan.

3. Gelombang Feminisme Ketiga/Postfeminisme

Perkembangan gerakan feminis dari gelombang pertama ke gelombang kedua berbeda dengan kasus gelombang ketiga, karena masih terdapat perbedaan yang jelas mengenai terminologi gelombang ketiga. feminisme dan postfeminisme. Untuk itu, pembahasan ini pertama-tama menguraikan makna istilah postfeminisme dengan feminisme gelombang ketiga sebagai berikut: 

  • Pengertian Postfeminisme

Istilah postfeminisme muncul lebih awal dalam sebuah artikel pada 1920. Istilah ini digunakan untuk menyatakan sikap “pro perempuan namun tidak anti laki-laki,” yang merayakan keberhasilan feminisme gelombang pertama dalam meraih hak pilih (Faludi, 2006; Genz dan Brabon: 2009).

Istilah post-feminisme muncul kembali pada tahun 1980-an dengan makna yang sangat berbeda. Gills dan Scharff (2011) merangkum keberadaan empat konsep postfeminisme. Pertama, istilah tersebut merupakan kajian yang lebih jauh aangaat penning dan dianggap sebagai titik temu baik antara feminisme dennen postmodernisme, maupun postrukturalisme dengan postkolonialisme, (Brooks, 1997).

Kedua, merupakan istilah yang merujuk pada lari tentang kematian feminisme karena tujuan dari gelombang kedua tidak tercapai pada tahun 1970-an, maka mereka menganggap tidak lagi relevan pada tahun 1980-an, (Tasker dan Negra, 2007 dikutip dalam Gill dan Scharf, 2011).

Definisi post-feminisme sebagai penghargaan atas kematian feminisme telah dikemukakan oleh para pendukung feminisme gelombang kedua. Tania Modleski, misalnya, melihat postfeminisme sebagai kajian yang meniadakan dan melemahkan perjuangan kaum feminis dan mengembalikan perempuan ke era prafeminis (dikutip dalam Gamble, 2006: 37).

Definisi post-feminisme yang ketiga menurut Gill dan Scharff (2011) adalah post-feminisme sebagai reaksi balik. Susan Faludi adalah salah satu pendukung utama dalam membingkai definisi post-feminisme sebagai reaksi balik. Dalam bukunya yang luar biasa Backlash: The Undeclared War Against American Women (1991), Faludi mendefinisikan postfeminisme sebagai perjuangan melawan feminisme melalui media massa dan budaya populer.

Media massa dan budaya populer yang digunakan sebagai alat untuk mendiskreditkan propaganda perempuan telah dibebaskan. Reaksi tersebut, menurut Faludi, didukung oleh pemerintah (2006: 291).

Definisi postfeminisme keempat yang diringkas oleh Gill dan Scharff (2011) adalah bahwa postfeminisme adalah sensibilitas. Merujuk pada pembahasan Judith Butler (1994, 2009) tentang konsep “keterikatan ganda” Judith Butler, post-feminisme adalah “pembentukan dan penghancuran feminisme” yang mengartikulasikan konsep-konsep feminisme awal sambil melakukan kajian terhadap konsep-konsep tersebut.

Salah satu konsep feminis yang mengalami redefinisi adalah pergeseran dari feminitas sebagai bagian dari tubuh dan pergeseran fokus dari objektivisasi perempuan ke subjektivisasi, dengan lebih menekankan pada kemampuan perempuan untuk mengambil keputusan, menentukan pilihan, dan latihan. tanggung jawab untuk diri mereka sendiri.

  • Pengertian Feminisme Gelombang Ketiga

Feminisme gelombang ketiga juga memiliki banyak definisi yang berbeda dan terkadang saling bertentangan. Para pencetus feminisme gelombang ketiga secara sistematis menyatakan diri mereka sebagai reaksi atas postfeminisme. Mereka memiliki pandangan negatif terhadap postfeminisme. 

Para pelopor feminisme gelombang ketiga seperti Iyvonne Tasker dan Diane Negra memiliki pandangan negatif terhadap postfeminisme dan menarik dikotomi antara feminisme gelombang ketiga dan postfeminisme dalam hubungannya dengan budaya popular (Genz dan Brabon, 2009). 

Postfeminisme dinilai sebagai feminisme aras utama yang dimotori berbagai kepentingan komersial tanpa aktivitas ataupun agenda feminis yang jelas. Dalam hal ini, feminisme gelombang ketiga menyatakan diri sebagai feminisme yang berkembang di dunia akademik, bersifat sistematis, dan bersifat lebih kritis. 

Gamble (2006) melihat feminisme gelombang ketiga merupakan sikap tegas terhadap dominasi kaum perempuan kulit putih pada gelombang kedua, kemudian mereka membuat penolakan bahwa penindasan yang terjadi pada perempuan sifatnya seragam maupun universal sebagai asumsi waktu itu.

Lebih jauh, feminisme gelombang ketiga juga terlibat berbagai aktivitas turun ke jalan. Gamble menginginkan agar menggunakan istilah feminisme kemudian menolak adanya isitlah postfeminisme yang dianggap terdapat unsur negatif yang melekat.

Tong (2009) mendefinisikan feminisme gelombang ketiga sebagai perkembangan awal yang dimulai pada 1990an, karena danya pengaruh dari feminisme-feminisme sebelumnya. Kemudian feminisme ini merayakan perbedaan dan dianggap terdapat perbedaan dari yang sebelumnya, (2009: 271). 

Dengan demikian pada Tong memilih istilah feminisme multikultural dari pada postfeminisme, sehingga hal inilah yang berbeda dengan Gamble. Di sisi lain Shelley Budgeon (2011a) bahwa budaya populer sangat mempengaruhi feminisme gelombang ketiga ini.

Bagi Budgeon (2011a: 280) feminisme gelombang ketiga melihat budaya populer sebagai objek kajian kritis dan menolak oposisi biner yang memarginalkan budaya populer. Feminisme gelombang ketiga merupakan perkembangan feminisme yang mendekonstruksi dan mengevaluasi kembali feminisme sebelumnya agar dapat terus berkembang dan memfasilitasi perempuan pasca feminisme tahun 1970-an, (Budgeon, 2011b: 4). 

Di sisi lain, Budgeon mendefinisikan postfeminisme suatu perkembangan yang bertentangan dari feminisme gelombang kedua. Dalam pandangan Budgeon, postfeminisme merangkul sekaligus menolak feminisme. Budgeon sepakat dengan Angela McRobie yang melihat postfeminisme sebagai perayaan terhadap pencapaian tujuan-tujuan feminisme sehingga feminisme dapat dilihat sebagai masa lalu (McRobbie, 2009). 

Tercapainya tujuan-tujuan feminisme membuka jalan bagi perempuan untuk mencapai tujuan-tujuan yang bersifat individual melalui gaya hidup dan pola konsumsi yang menjadi ciri khas postfeminisme (2011b: 281). Sehingga Budgeon dan McRobbie memahami feminisme gelombang ketiga itu bersifat akademis, global dan aktivis. Sedangkan isitlah postfeminisme itu sifatnya konsumtif, individualistik serta populer.

Menurut Genz dan Brabon, perbedaan antara postfeminisme dan feminisme gelombang ketiga merupakan fenomena yang tak terhindarkan dari kehidupan sosial budaya masyarakat Barat yang rawan kontradiksi (2009:162). Meskipun pendapat ini cenderung menekankan feminisme gelombang ketiga sebagai perkembangan yang didominasi oleh Barat.

Di sisi lain kesadaran feminis untuk mengakui perbedaan dan menerima keberagaman menjadi modal tersendiri bagi perempuan non-Barat untuk mengembangkan feminisme dengan keyakinan bahwa feminisme gelombang kedua postmodern berkomitmen untuk mengambil aliran feminisme yang berbeda.

4. Feminisme Kontemporer

Feminisme kontemporer adalah gerakan sosial, politik, dan budaya yang berfokus pada perjuangan kesetaraan gender dalam konteks zaman sekarang. Feminisme ini melibatkan berbagai pendekatan, isu, dan perspektif yang beragam, serta beradaptasi dengan perkembangan sosial, politik, dan teknologi saat ini. Adapun pemahaman para ahli tentang feminisme kontemporer ini akan diuraikan sebagai berikut:

  • Nancy Fraser (2013)

Nancy Fraser, seorang teoretikus sosial dan politik, berargumen bahwa feminisme kontemporer harus melibatkan perjuangan untuk keadilan sosial dan ekonomi secara menyeluruh. Dia menekankan perlunya memperhatikan ketidakadilan dalam struktur kapitalis dan menciptakan koalisi dengan gerakan sosial lainnya. 

  • Judith Butler (2004) 

Judith Butler, seorang filosof dan teoretikus feminisme, menyuarakan perlunya melampaui konstruksi biner gender dan memahami kerentanan sosial dan politik yang dialami oleh individu dalam masyarakat. Dia menekankan pentingnya menggali lebih dalam tentang performativitas gender dan identitas.

  • Bell Hooks (2000)

Bell Hooks, seorang feminis dan penulis, mengusulkan perluasan wacana feminis untuk mencakup isu-isu yang berkaitan dengan rasisme, kelas sosial, dan kapitalisme. Dia menekankan pentingnya melawan patriarki dan penindasan yang dihasilkan oleh sistem sosial yang berbeda. 

  •  Kimberlé Crenshaw (1989)

Kimberlé Crenshaw, seorang profesor hukum dan aktivis feminis, memperkenalkan konsep interseksionalitas. Dia menyoroti pentingnya memahami dan mengatasi ketidakadilan yang dialami oleh perempuan dengan latar belakang yang berbeda, termasuk interaksi antara ras, gender, dan kelas sosial. 

  • Angela Davis (1981)

Angela Davis, seorang aktivis politik dan intelektual, menekankan pentingnya menghubungkan feminisme dengan gerakan pembebasan rasial. Dia menganjurkan pendekatan yang holistik dalam memerangi rasisme, kapitalisme, dan penindasan berdasarkan gender.

Referensi di atas mencakup pandangan-pandangan penting dari para ahli feminisme kontemporer dan tahun publikasi referensi tersebut memberikan gambaran tentang perkembangan pemikiran dan pandangan dalam gerakan feminisme. Penting untuk diingat bahwa feminisme kontemporer adalah bidang yang terus berkembang, dan pemikiran dan kontribusi para ahli dapat terus berubah dan berkembang seiring waktu.

Referensi

Brooks, A. 1997. Brooks, Ann, 1997. Postfeminism: Feminism, Cultural Theory and Cultural Forms. London dan New York: Routledge.


Budgeon. S. 2011a. Third-Wave Feminism and the Politics of Gender in Late Modernity. New Hampshire dan New York: Palgrave MacMillan. 


Faludi. S. 1991/2006. Backlash: The Undeclared War Against American Women. New York: Three Rivers Press. 


Hudgson-Wright, 2006. Hodgson-Wright, Early Feminism, dalam Cambridge Companion to Feminism and Postfeminism, Sarah Gamble (2006).


Gamble, S. 2006. “Postfeminism” dalam The Routledge Companion to Feminism and Postfeminism. Editor Sarah Gamble. London and New York: Routedge.


Genz S. dan B. Brabon. 2009. Postfeminism: Cultural Text and Theories. Edinburgh:  Edinburgh University Press 


Gills dan Schraff. 2011. Gill, Rosalind dan Christina Scharff. 2011. New Femininities: Postfeminism, Neoliberalism and Subjectivity. Hampshire dan New York: Palgrave MacMillan. 


Gleadle, Kathryn. 2002. Radical Writing on Women, 1800-1850. Hampshire and New York: Palgrave MacMillan.


McRobbie, A. 1994. McRobbie, Angela. 1994. Postmodernism and Popular Culture, New York: Routledge. 


Sanders, Valerie. 2006. “First Wave Feminism—Women as Intellect in renaissance Italy and England. Massachusetts and London: Harvard University Press.


Zaslow, 2009 Emilie Zaslow. 2009: Feminism, Inc. Coming of Age in Girl Power Media Culture. New York: Palgrave MacMillan. 


Zeisler, A. 2008. Feminism and Popular Culture. California: Seal Press. 


Butler, J. (2004). Undoing Gender.


Crenshaw, K. (1989). Demarginalizing the Intersection of Race and Sex: A Black Feminist Critique of Antidiscrimination Doctrine, Feminist Theory and Antiracist Politics.


Davis, A. Y. (1981). Women, Race, and Class.


Fraser, N. (2013). Fortunes of Feminism: From State-Managed Capitalism to Neoliberal Crisis.


Hooks, H. (2000). Feminism Is for Everybody: Passionate Politics.

Post a Comment

Post a Comment