EjB3vSKmQo697EadCV9cGlL38GnDuoUNUgLqklCB
Bookmark

Ekofeminisme: Mengenal Gerakan Perempuan Dan Lingkungan

Feminisme yang sebelumnya dibahas mungkin dikenal sebagai suatu garakan perempuan dalam menuntut hak-haknya baik di ruang privat maupun publik. Sehingga hal itu dirasa masih menyangkut dengan persoalan antara hubungan sesama manusia saja.

Akan tetapi pembahasan tentang hubungan manusia dengan alam masih belum mendapat tempat kajian khusus, yang seakan-akan manusia hanya mementingkan dirinya sendiri dan tidak peduli pada alam sebagai lingkungan hidupnya.

Ekofeminisme: Mengenal Gerakan Perempuan Dan Lingkungan
Gambar. Ekofeminisme: Mengenal gerakan perempuan dan lingkungan. Sumber. pixabay.com

Apabila manusia hanya mementingkan dirinya sendiri tanpa memperhatikan hubungan dengan alam dan lingkungan hidupnya, sebenarnya hal itu berdampak pada keberlanjutan kehidupan manusia sendiri. 

Untuk itu kita perlu memahami bahasa keadilan baru yang tidak hanya membicarakan hubungan manusia dengan sesamanya, melainkan tentang manusia dengan lingkungan hidupnya. Sebenarnya pola pikir ini sudah mendapat perhatian dalam gerakan feminisme, yang dikenal dengan ekofeminisme.

Lantas apa itu ekofeminisme? Sederhananya mereka adalah gerakan yang tidak hanya membahasa tentang keadilan dalam hubungan manusia, melainkan erat kaitannya dengan hubungan manusia dengan alam atau lingkungannya. Untuk itu kita akan membicarakan lebih jauh mengenai hal ini, yaitu tentang memahami salah satu gerakan feminisme yang mengaitkan perempuan dengan alam. 

Pengertian Ekofeminisme Menurut Para Ahli

Ekofeminisme adalah teori yang menghubungkan antara feminisme dan gerakan lingkungan (ekologi). Konsep ini pertama kali muncul pada tahun 1974 berdasarkan karya Francoide d’Eaubonne yang berjudul Le Feminisme ou la Mort (Feminisme atau Kematian) terbit pada tahun yang sama, (Tong, 2006:366). Adapun pemahaman para ahli tentang ekofeminisme akan diuraikan sebagai berikut:

  • Vandana Shiva

Ekofeminisme adalah upaya untuk melihat kesamaan antara dominasi patriarki dan dominasi manusia terhadap alam, serta mengakui bahwa pembebasan perempuan dan pembebasan alam saling terkait, (Shiva, 1988, hal. 21).

  • Maria Mies

Ekofeminisme menyoroti keterkaitan antara penindasan terhadap perempuan dan penindasan terhadap alam, dan berusaha untuk membangun hubungan yang berkelanjutan dengan alam dan perempuan, (Mies, 1993, hal. 53).

  • Ynestra King

Ekofeminisme melibatkan analisis tentang bagaimana dominasi terhadap perempuan dan alam saling berhubungan dalam sistem yang saling menguatkan, (King, 1989, hal. 11).

  • Carolyn Merchant

Ekofeminisme memandang alam sebagai subjek, bukan objek, dan berusaha untuk mengembangkan hubungan yang saling menghormati dan berkelanjutan dengan alam, (Merchant, 1980, hal. 167).

  • Ariel Salleh

Ekofeminisme adalah perpaduan antara feminisme, ekologi, dan gerakan anti-kapitalisme, yang melihat dominasi patriarki, dominasi kapitalisme, dan dominasi terhadap alam sebagai krisis yang saling terkait, (Salleh, 1997: 24).

Mengenal Sejarah Perkembangan Ekofeminisme

Sejarah ekofeminisme melibatkan perkembangan gerakan ini dari waktu ke waktu, dengan kontribusi dari berbagai pemikir dan aktivis. Berikut adalah tinjauan singkat tentang sejarah ekofeminisme:

1. Perkembangan Awal Tahun 1970-an

Pada tahun 1970-an, gagasan-gagasan awal tentang keterkaitan antara feminisme dan gerakan lingkungan mulai muncul. Pada tahun 1974, Françoise d'Eaubonne, seorang feminis Prancis, memperkenalkan istilah "ekofeminisme" dalam bukunya yang berjudul "Le Féminisme ou la Mort" (Feminisme atau Kematian).

2. Pengembangan Konsep dan Aktivisme 1980-an

Pada tahun 1980, Carolyn Merchant, seorang sejarawan sains, menerbitkan bukunya yang berjudul "The Death of Nature: Women, Ecology, and the Scientific Revolution", yang membahas tentang hubungan antara penindasan terhadap perempuan dan penindasan terhadap alam.

Baca Juga:

Selama tahun 1980-an, Vandana Shiva, seorang aktivis lingkungan dan feminis dari India, juga berkontribusi secara signifikan dalam pengembangan ekofeminisme. Dalam karyanya, seperti "Staying Alive: Women, Ecology, and Development" yang diterbitkan pada tahun 1988, Shiva menggambarkan keterkaitan antara pembebasan perempuan dan pemeliharaan lingkungan.

4. Pemikiran dan Gerakan Global Tahun 1990-an

Pada tahun 1990-an, ekofeminisme semakin berkembang sebagai gerakan global. Maria Mies, seorang feminis dan ahli ekonomi Jerman, menerbitkan bukunya yang berjudul "Ecology, Feminism, and the Mastery of Nature" pada tahun 1993, di mana ia mengkritik dominasi patriarkal terhadap alam.

Selama periode ini, terjadi juga pertemuan-pertemuan dan dialog antara feminis dan aktivis lingkungan dari berbagai negara. Contohnya, pada tahun 1991, diadakan Pertemuan Ekofeminisme Global di Brasil yang mengumpulkan para aktivis dari berbagai latar belakang.

5. Diversifikasi dan Ekspansi Era Kontemporer

Pada era kontemporer, ekofeminisme terus berkembang dengan pemikiran dan gerakan yang semakin beragam. Para pemikir dan aktivis ekofeminis dari berbagai belahan dunia terus berkontribusi dalam diskusi tentang keterkaitan antara feminisme, lingkungan, dan keadilan sosial.

Selain itu, terdapat pula upaya untuk menerapkan pemikiran ekofeminisme dalam praktek melalui aksi-aksi kolektif, kampanye lingkungan, advokasi kebijakan, dan pendidikan.

Perlu dicatat bahwa sejarah ekofeminisme terus berkembang, dan terdapat variasi dalam pemikiran dan pendekatan di antara para pemikir dan aktivis ekofeminis. Namun, perkembangan yang disebutkan di atas memberikan gambaran tentang evolusi gerakan ini dari masa lalu.

Dasar Pemikiran Ekofeminisme

Dasar pemikiran ekofeminisme melibatkan penggabungan antara feminisme dan gerakan lingkungan. Berikut adalah beberapa dasar pemikiran yang mendasari ekofeminisme:

1. Keterkaitan antara penindasan terhadap perempuan dan penindasan terhadap alam

Ekofeminisme mengakui bahwa terdapat keterkaitan yang kuat antara dominasi patriarki terhadap perempuan dan dominasi manusia terhadap alam. Gerakan ini berpendapat bahwa sistem yang menindas perempuan juga cenderung menindas alam.

Menurut Warren (dalam Wulan, 2007), pemikiran patriarki yang hierarkis, dualistik dan menindas telah merugikan perempuan dan alam. Jelas, karena perempuan telah "dinaturalisasi" (natural= alam) dan alam telah "difeminisasikan", sulit untuk mengetahui kapan satu penindasan berakhir dan penindasan lainnya dimulai. 

Warren menunjukkan bahwa wanita "dinaturalisasi" ketika digambarkan melalui referensi hewan, seperti "sapi, serigala, ayam, ular, jalang, berang-berang, kelelawar, kucing". Demikian pula, alam "difemininkan" saat "dia" dilanggar. , didominasi, ditundukkan, dikendalikan, ditembus, dikalahkan, dan diremehkan oleh laki-laki, atau ketika "dia" dihormati atau bahkan dipuja sebagai ibu yang paling mulia. 

Jika laki-laki adalah penguasa alam, jika laki-laki berkuasa atas alam, maka ia tidak hanya menguasai alam tetapi juga atas perempuan. Apa pun yang dapat dilakukan pria dengan alam dapat dilakukan dengan wanita.

2. Pemahaman tentang hubungan manusia dengan alam 

Ekofeminisme menekankan pentingnya melihat alam sebagai subjek, bukan objek. Artinya, alam memiliki nilai intrinsik dan hak-haknya sendiri harus dihormati dan dilindungi. Dari sudut pandang feminisme ekologis Vandana Shiva, hubungan antara manusia dan alam tidak dapat dipisahkan. 

Manusia dan alam saling peduli dan tidak dapat dipisahkan karena manusia mendominasi alam. Secara ontologis, manusia dan alam tidak terpisah, begitu pula laki-laki dan perempuan. Ini karena kehidupan dalam segala bentuknya terbuat dari prinsip feminin (Shiva, 1998: 51). Bahkan salah satu tokoh yang biasa disebut deep ecology, yaitu Arne Naess, berpendapat bahwa manusia harus mencintai alam sebagaimana manusia mencintai Tuhan.  

Karena hal itu dipahami bahwa manusia tidaklah terpisah dari Tuhan secara entitas, baik yang berkaitan dengan sifat maupun kodratnya dianggap bagian dari Tuhan itu sendiri. Dewi (2015: 39) juga mengatakan Bahwa manusia merupakan peserta atau partisipasi aktif dengen proses kreativitasanya, yang merupakan bagian dari alam.

3. Kritik terhadap dualisme patriarki

Dualisme patriarki dalam pandangan ekofeminisme merujuk pada pemisahan yang dibuat oleh pemikiran patriarkal antara alam dan budaya, alami dan buatan, serta perempuan dan laki-laki. Dalam pemikiran ini, perempuan dan alam sering kali ditempatkan dalam kategori yang lebih rendah atau terpinggirkan, sementara laki-laki dan budaya dianggap superior atau dominan.

Ekofeminisme mencela pemisahan dualistik dalam pemikiran patriarki antara alam dan budaya, alami dan buatan, serta perempuan dan laki-laki. Gerakan ini mengusulkan untuk mengatasi dualisme tersebut dan membangun hubungan yang berkelanjutan dan saling menghormati.

4. Perspektif holistik

Ekofeminisme menganut pandangan holistik, yang memandang alam sebagai sistem yang kompleks dan terhubung. Hal ini berarti bahwa pemecahan masalah lingkungan tidak dapat terpisahkan dari pemecahan masalah sosial dan gender.

Ekofeminisme melihat manusia sebagai bagian integral dari alam, bukan sebagai entitas terpisah. Dalam perspektif holistik ini, manusia dipandang sebagai bagian dari ekosistem yang saling bergantung dan saling mempengaruhi dengan organisme lainnya.

Perspektif holistik dalam ekofeminisme menekankan pentingnya melihat dan memecahkan masalah lingkungan dan gender secara terintegrasi. Pemahaman bahwa manusia dan alam merupakan bagian dari satu sistem memunculkan kebutuhan untuk memerangi dominasi, eksploitasi, dan ketidakseimbangan dalam kedua bidang tersebut secara bersamaan.

Perspektif holistik dalam ekofeminisme mendorong solidaritas dan kerjasama antara berbagai kelompok dan gerakan. Hal ini termasuk kolaborasi antara feminisme dan gerakan lingkungan, serta kolaborasi antara komunitas lokal, ilmuwan, aktivis, dan pemerintah untuk mencapai tujuan bersama dalam melindungi alam dan memperjuangkan keadilan gender.

5. Kolaborasi dan solidaritas antar gerakan

Ekofeminisme mendorong kolaborasi antara gerakan feminisme dan gerakan lingkungan. Gerakan ini mengakui bahwa perjuangan untuk keadilan gender tidak dapat dipisahkan dari perjuangan untuk keadilan lingkungan, dan solidaritas antara kedua gerakan tersebut diperlukan.

Melalui dasar-dasar pemikiran ini, ekofeminisme berusaha untuk memperjuangkan keadilan gender, perlindungan lingkungan, dan pembangunan masyarakat yang berkelanjutan.

Kritik Terhadap Ekofeminisme

Kritik terhadap ekofeminisme dapat bervariasi dan bersifat subjektif, seperti halnya kritik terhadap aliran pemikiran atau gerakan lainnya. Berikut ini adalah beberapa kritik umum yang diajukan terhadap ekofeminisme:

1. Essentialisme

Salah satu kritik terhadap ekofeminisme adalah bahwa aliran ini menggunakan pendekatan yang terlalu essentialis, yaitu menganggap bahwa perempuan secara alamiah memiliki hubungan yang lebih dekat dengan alam dan kehidupan. Kritikus mengatakan bahwa hal ini mengabaikan keragaman pengalaman dan preferensi individu.

2. Pembingkaian yang Terlalu Sederhana

Beberapa kritikus berpendapat bahwa ekofeminisme cenderung membingkai masalah-masalah kompleks seperti kerusakan lingkungan dan ketidakadilan gender dalam perspektif yang terlalu sederhana. Mereka berpendapat bahwa menghubungkan perempuan secara langsung dengan kebaikan alam dan laki-laki dengan eksploitasi alam tidak mencerminkan kompleksitas permasalahan yang sebenarnya.

3. Generalisasi yang Berlebihan

Kritikus juga menyuarakan keprihatinan tentang generalisasi yang sering terjadi dalam ekofeminisme. Ekofeminisme cenderung berbicara tentang perempuan secara keseluruhan, tanpa mempertimbangkan perbedaan sosial, budaya, dan ekonomi yang ada di antara mereka. Hal ini dapat mengaburkan perbedaan pengalaman dan kepentingan individu perempuan.

4. Kurangnya Fokus pada Aspek Ekonomi dan Sosial

Beberapa kritikus mengklaim bahwa ekofeminisme terlalu terfokus pada dimensi lingkungan, tanpa memberikan perhatian yang memadai pada aspek ekonomi dan sosial. Mereka berpendapat bahwa untuk mencapai perubahan yang berarti, penting untuk memperhatikan juga isu-isu seperti kemiskinan, ketidakadilan sosial, dan ketergantungan ekonomi.

5. Konflik dengan Gerakan Lain

Kritikus juga menyoroti konflik yang mungkin timbul antara ekofeminisme dan gerakan lain, seperti feminisme mainstream atau gerakan lingkungan lainnya. Terkadang, perspektif ekofeminisme dianggap terlalu radikal atau tidak sejalan dengan agenda gerakan lain, yang dapat menghambat kerja sama dan pencapaian tujuan bersama.

Penting untuk dicatat bahwa tidak semua kritik ini mendapat dukungan luas, dan pandangan terhadap ekofeminisme dapat bervariasi di antara individu dan kelompok. Beberapa orang mungkin merasa bahwa kritik-kritik ini tidak memahami atau mengabaikan manfaat dan kontribusi ekofeminisme dalam memperluas pemahaman kita tentang hubungan antara gender, lingkungan, dan keadilan.

Referensi

Arimbi, H. dan Valentina, R. 2004. Percakapan tentang Feminisme vs Neoliberalisme. Debt Watch Indonesia dan Institut Perempuan. Jakarta.


Astuti, T. (2012). Ekofeminisme dan Peran Perempuan Dalam Lingkungan. Indonesian Journal of Conservation, Vol. 1. No. 1, 49–60. 


Dewi, S. (2015). Ekofenomenologi: Mengurai Disekuilibrium Relasi Manusia Dengan Alam. Tangerang: Marjin Kiri. 


Macey, D. 2000. The Penguin Dictionary of Critical Theory. Penguin Books, London.


Rismawati, S,D, dkk. (2017). Geliat Ecofeminisme Pedesaan dalam Pelestarian Lingkungan (Studi Kasus Di Desa Curug Muncar Pekalongan). Palastren. Vol.10, No.1 hlm. 1-24. 


Shiva, V. (1998). Bebas dari Pembangunan: Perempuan, Ekologi, dan Perjuangan Hidup di India. Yogyakarta: Yayasan Obor Indonesia.


Shiva, V and Mies, M. 2005. Ecofeminism Perspektif Gerakan Perempuan dan Lingkungan, IRE Press. Yogyakarta.


Tong, Rosemary Putnam. (2006). Feminist Thought: A More Comprehensive Introduction. Diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh Aquaini Priyatna Prabasmara. Bandung: Jalasutra.


Wulan, Tyas Retno. 2007. Ekofeminisme Transformatif: Alternatif Kritis Mendekonstruksi Relasi Perempuan dan Lingkungan. Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan Ekologi Manusia Vol. 1. No.1. 2007.


Warren, K. J. 1996. Ecological Feminist Perspective. Indiana University Press. Blommingtoon. 


Warren, K. J. 1993. Introduction to Ecofeminism, dalam Michael Zimmerman (ed) Environmental Philosophy. Prentice hall. Englewood Cliffs, NJ. 

Post a Comment

Post a Comment