EjB3vSKmQo697EadCV9cGlL38GnDuoUNUgLqklCB
Bookmark

Toxic Positivity: Berikut ini Pengertian Toxic Positivity, Ciri-Cirinya dan Contoh Toxic Positivity

Mengalami keadaan yang tidak menyenangkan atau masa-masa sulit dalam kehidupan sehari-hari merupakan hal yang sangat mungkin bagi kita sebagai manusia, baik itu diri kita sendiri maupun orang lain. Hal ini seringkali membuat mental kita menjadi rapuh. Setelah mengalami hal tersebut dalam kehidupan sehari-hari mungkin ada upaya untuk menghadapi fenomena tersebut.

Seperti berusaha agar diri kita maupun mengajak orang lain untuk bersikap atau berpikir positif. Pada orang lain kita memberikan semangat atau saran-saran tertentu yang  seringkali kita anggap membutuhkan empati dari kita. Di sisi lain upaya agar diri kita tetap bersikap positif atau memberikan semangat pada orang lain seperti teman, keluarga dan sebagainya mungkin bisa dianggap wajar-wajar saja. 

Namun apakah kita pernah berpikir upaya-upaya tersebut tidak selalu positif? atau dalam istilah lain yang saat ini banyak dibicarakan pada fenomena tersebut sering disebut dengan toxic positivityLantas arti sebenernya istilah tersebut? Untuk itu dalam pembahasan kali ini akan menguraikan tentang apa itu toxic positivity? Ciri-ciri dan disertai contoh-contohnya.

Apa itu toxic positivity?
Gambar. Apa itu toxic positivity? Sumber. pixabay.com

Pengertian Toxic Positivity

Pertanyaan tentang apa itu toxic positivity? Menurut (Primastiwi, 2020) mengartikannya sebagai suatu pola pikir dan perilaku dari seseorang ketika menghadapi sesuatu itu terpaku pada hal-hal yang bahagia atau pandangan optimis saja, dalam arti mereka berupaya menghindari emosi yang negatif.

Pengertian tersebut juga diungkapkan oleh Psikolog klinis Veronica Adesla menyebutkan toxic positivity pada CNNIndonesia.com yaitu:"Toxic positivity itu memberikan hal yang positif secara berlebihan, baik itu pesan, sikap, atau berpikir positif sehingga tidak tepat." Dari sini artinya toxic positivity berkaitan dengan pola pikir, ucapan atau sikap berlebihan yang dianggap positif namun tidak tepat.

Dengan demikian toxic positivity artinya bisa menjadi suatu kebiasaan yang selalu melihat suatu kondisi dari sisi positif apapun keadaannya, sehingga pikiran negatif dalam dirimu berusaha untuk dihilangkan atau dihindari dengan saran atau kata-kata pada diri sendiri maupun orang lain. Padahal kata-kata tersebut bisa saja berdampak buruk atau positif yang toxic.

Hal ini juga diungkapkan oleh (Wood et al., 2009), memberikan kata-kata positif kepada lawan bicara yang sedang mengalami masalah dapat membuat lawan bicara itu merasa tidak dihargai dan menganggapnya bahwa ia sedang diremehkan. Pada konteks ini adalah upaya seseorang yang ingin memberikan pesan seperti penyemangat pada orang lain.

Adapun menurut Kirnandhita (Satriopamungkas et al., 2020), apabila seseorang dalam keadaan tertekan atau berduka dan memaksakan diri untuk tetap positif, cenderung memberikan dampak menyalahkan diri sendiri, karena merasa takut tidak sesuai dengan apa yang diharapkan orang lain kepadanya. Sedangkan pada konteks ini adalah tentang seseorang yang berusaha positif pada dirinya sendiri sehingga mengalami tekanan yang lain.

Baca Juga:

Di sisi lain toxic positivity terjadi apabila seseorang terus-menerus mendorong orang lain yang sedang mengalami masalah untuk selalu berpikiran positif atau melihat sisi baik dalam segala situasi, tanpa memperhatikan pengalaman yang mereka rasakan dan lalui, serta tidak ada kesempatan untuk memberikan mereka meluapkan perasaannya.

Dengan demikian arti toxic positivity adalah suatu sikap yang tidak mau menerima perasaan negatif seseorang baik dirinya sendiri maupun pada orang lain. Sikap ini juga sebenarnya dapat mempengaruhi hubungan seseorang dengan yang lainnya.

Tidak hanya itu menurut  (Quintero & Long, 2019) sikap ini juga memberikan kita gambaran bahwa ketika kita melakukan penolakan tentang apa yang sedang dirasakan, maka hal itu membuat kita menjadi kehilangan terhadap diri kita sendiri, dan hidup dalam kepalsuan serta terputus hubungan dengan dunia keberadaan kita.

Ciri-Ciri dan Contoh Toxic Positivity

Pengertian yang sudah diuraikan sebelumnya, mungkin diharapkan dapat memberikan kita sedikit gambaran mengenai apa itu toxic positivity? Namun masih terselip rasa penasaran mengenai tanda-tanda atau contoh dari perilaku ini, mungkin dapat dilihat dari beberapa pesan-pesan atau kata-kata yang mereka gunakan. Seperti ucapan-ucapan orang, yang niatnya memotivasi, tetapi rupanya justru terdengar merendahkan atau berdampak buruk bagi orang lain, yaitu sebagai berikut:

  • Membohongi Diri Sendiri

Upaya dalam menghadirkan sisi positif pada diri kita mungkin terlihat baik, namun dengan menyangkal emosi negatif sebenarnya membuat diri kita tidak bersikap realistis. Artinya apa yang terjadi pada kita saat ini sebagai fakta, itu ditanggapi dengan seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Sehingga hal inilah yang membuat kita seakan menjadi pribadi yang tidak bisa menerima kenyataan.

Contoh membohongi diri sendiri ini misalnya: "Aku gak apa-apa", "aku harus selalu happy", "aku harus selalu kuat"Apapun itu mengucapkan kalimat yang berlawanan dengan perasaannya sendiri, merupakan hal yang tidak baik. Menurut (Wood, dkk., 2009) kalimat seperti hanya akan memperburuk keadaan atau membuat perasaan buruk seseorang tenggelam semakin dalam.

  • Batin dan Jiwa yang Tidak Tenang

Bersikap tidak terbuka atau membohongi diri sendiri sebenarnya dapat membuat seseorang sulit dalam mengontrol emosinya, atau membuat jiwa dan batin mereka tidak tenang. Orang ini juga sering kebingungan karena tidak dapat mengontrol emosi, ia juga kesulitan dalam mencari solusi dan dapat membuat stres yang lebih parah lagi karena selalu merasa tertekan.

Hal ini karena untuk bisa sepenuhnya sehat mental, kita pun perlu punya perangkat yang memadai untuk bisa mengungkapkan emosi – dengan seluruh keberagamannya, bukan hanya yang positif saja, tetapi termasuk yang negatif. Jika kita hanya bersedia mengakui hal-hal positif, maka kita menjadi ‘pincang’.

Pada saat kita bercakap pada diri sendiri, “Aku merasa lelah karena masa depanku tampak begitu suram.” Lalu coba lanjutkan, “Ya, lalu…” Dengan demikian, ungkapan negatif tetap diekspresikan, rasa lelah tetap diterima, kemudian kita memicu diri untuk berpikir lebih lanjut. “Ya, aku lelah, lalu artinya aku perlu istirahat teratur,” inilah contoh percakapan yang bisa terjadi begitu kita bercakap dengan penuh penerimaan.

Coba bandingkan jika percakapan tersebut berbunyi seperti ini. “Aku merasa lelah karena masa depanku tampak begitu suram.” “Ayo, tidak baik berpikir seperti itu, kamu harus kuat.” Maka penerimaan diri tidak akan tercapai, kelelahan justru semakin bertambah, yang terjadi pikiran menjadi buntu. Kesimpulan bahwa kita perlu istirahat teratur tidak akan berhasil kita raih. Apa yang terjadi? Kita akan terus lelah dan lelah dan lelah dan lelah.

  • Menghindari Masalah

Berusaha meghindari masalah merupakan toxic positivity, seperti mendesak pada diri sendiri atau orang lain untuk melupakan kesedihan yang dialaminya agar selalu fokus pada hal yang lebih baik saja. Langkah seperti ini bukan hanya tidak realistis, melainkan menjadikan seseorang tidak bertanggung jawab atas kehidupannya sendiri dan hanya akan menambah masalah yang lebih besar karena itu seperti menumpuk masalah.

Untuk menekan perasaan-perasaan negatif muncul orang yang memiliki kecenderungan toxic positivity akan memilih menghindari permasalahan dan bukannya mencari solusi. Hal ini juga tidak tepat, sebab dalam hidup kita pasti akan menemui permasalahan yang serupa dan semakin sering menghindarinya hanya akan membuat kita menghadapi masalah yang jauh lebih besar.

  • Motivasi yang Keliru

Semua orang mungkin membutuhkan motivasi baik diri sendiri maupun orang lain. Di sisi lain kita pernah melihat sesorang yang sedang mengalami masalah tertentu dan kita anggap mereka mungkin membutuhkan motivasi atau kata-kata penyemangat. Namun pernahkah kita berfikir bahwa dengan memberikan motivasi yang keliru merupakan toxic positivity

Lantas bagaiamana kita memahami motivasi yang keliru tersebut? hal ini seperti memberikan motivasi kepada seseorang tapi dengan cara menghakimi mereka. Nah... apakah kalian pernah melihat seseorang yang memberikan motivasi kepada kita, tapi seakan-akan caranya tersebut membuat kita merasa seperti dihakimi? Contoh seperti berikut:

"Kamu tidak perlu sedih dengan masalah yang sedang kamu alami, mungkin saja masalah itu datang karena sumbernya dari dirimu sendiri".

Contoh kutipan di atas merupakan memberikan motivasi yang keliru atau toxic positivity. Karena setiap orang wajar saja mengalami atau meluapkan emosi kesedihannya sebagai fakta perasaan saat itu. Selain itu cara memberikan motivasi dengan menghakimi mereka, justru membuat mereka seakan tidak berdaya.

  • Membandingkan Diri dengan yang Lain

Terkadang seseroang sering memberikan motivasi pada orang lain yang mengalami masalah atau kegagalan tertentu dengan cara membandingkan-bandingan. Upaya dalam membandingkan ini tanpa sadar seringkali terjadi baik pada diri sendiri maupun orang lain. Lantas bagaimana contoh toxic positivity yang suka membanding-bandingkan? Hal ini akan terlihat seperti kata-kata sebagai berikut:

"Kamu masih mending, waktu itu pengalamanku lebih parah". Sebenarnya tidak perlu membandingkan pengalaman kita dengan orang lain, sebab pada kondisi tersebut seorang teman hanya ingin meluapkan perasaannya dan ingin di dengarkan. Untuk itu seharusnya kita bisa menanggapinya seperti ini: "Tidak apa-apa, aku mengerti dan selalu ada di sini untuk mendengarkanmu".

Referensi

Adesla, Veronica. Baca artikel CNN Indonesia "Mengenal Apa Itu Toxic Positivity dan Cara Menghadapinya" selengkapnya di sini: https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20211210115136-260-732396/mengenal-apa-itu-toxic-positivity-dan-cara-menghadapinya.

Ford, B.Q.; Lam, P.; John, O.P. & Mauss, I. B. 2018. The psychological health benefits of accepting negative emotions and thoughts: Laboratory, diary, and longitudinal evidence. Journal of Personality and Social Psychology 115(6):1075-1092.

Quintero, S., & Long, J. 2019. Toxic Positivity: The Dark Side of Positive Vibes. Retrieved January 7, 2020, from The Psychology Group.

Satrio Pamungkas, B. Yudani, H. D., Wirawan, I. G. N., & Petra, U.K 2020. Perancangan Film Pendek Mengenai Toxic Positivity Di Lingkungan Masyarakat Surabaya.16.

Wood, J. V., Elaine Perunovic, W. Q., & Lee, J. W. 2009. Positive self-statements: Power for some, peril for others. Psychological Science, 20(7), 860–866. 


Post a Comment

Post a Comment