EjB3vSKmQo697EadCV9cGlL38GnDuoUNUgLqklCB
Bookmark

Ideal Dan Kekosongan

Tentang yang Ideal dan Kekosongan

Kebanyakan kita (manusia) bersensasi soal sesuatu yang ideal adalah sesuatu yang disebut benar, baik, indah, bebas, cantik, cinta, dan adil. Alhasilnya di luar semua itu kita beri sebuah stereotipe (pelebelan) tidak ideal lalu membentuknya dalam konotasi negatif, yaitu sesuatu yang tak pantas kita lakukan atau jalani karena dianggap tidak manusiawi.

Pola itu lalu dianggap sebagai sugesti alamiah manusia melalui pemberian alam ataupun berasal dari transendensi, hingga harus dilakukan. Orang-orang beragama menyebutnya “ketetapan Tuhan” yaitu fitrah. Padahal di luar ideal sensasi manusia saat ini (tidak adil, tidak benar, tidak cantik, tidak indah, dan tidak bebas), juga merupakan sesuatu yang ideal bahkan manusiawi dari tingkah laku manusia secara konseptual. 

Kekosongan dan Ideal
Gambar. Black holle. Kekosongan dan Ideal. Sumber. pixabay.com

Ideal akhirnya teramputasi oleh jangkauan penalaran manusia yang terkoptasi dengan konsep-konsep diskontunitas pemikiran. Tetapi pernakah kita bertanya, kenapa bisa begitu? Bagaimana itu bisa terjadi?. Menjawab pertanyaan itu kita diberi penawaran oleh Jean Baudrillard, seorang filsuf asal prancis melalui Teorinya simulasi. 

Bicara Ideal Dengan Baudrillard

Bahwa Baudillard menjawabnya “kebenaran” hari ini yang dipercayai oleh kebanyakan orang sebenarnya buah dari hasil pembentukan (simulasi), melalui teknologi, filsuf, ilmuan, dan bahkan agama. Simulasi anggapan Baudrillard “berlalu lintas” lewat simbol dan wacana. Dimana terjadi secara cepat, padat, masif, sistematis dan terstruktur didalam kehidupan manusia. 

Jalan pikiran Baudillard kemudian bergandeng tangan dengan “puisi” Michel Foucault yang mengatakan “siapa yang menguasai wacana, maka dia yang akan menguasai realitas.“ Puisi” Foucault itu mengisaratkan kita bahwa realitas itu sebenarnya hasil rekonstruksi wacana. 

Wacana dalam pengertian Foucault adalah gagasan-gagasan, argumen-argumen, dalil-dalil, atau pendapat-pendapat. Kedua tokoh diatas memberi tahu kita bahwa anggapan ideal kita sebagaimana tertuang diatas, sebenarnya adalah hasil “penjara” dari argumentasi manusia-manusia terdahulu.

Sensasi ideal kita bahkan sebenarnya absurd karna apa yang disebut sebagai benar, baik, indah, bebas, cantik, cinta, dan adil. Berubah menjadi pembenaran, perbaikan, perindahan, pembebasan, percantikan, dan peradilan. Dikarenakan bersifat semu yang tak absolut, otentik, serta original. 

Melainkan sebuah perspektif dari kerja penalaran akibat dari geneologi kebutuhan kita, terisi oleh keinginan-keingnan, kepentingan-kepentingan, kebutuhan-kebutuhan, dan harapan-harapan individu atau kelompok lalu menjadi sebuah ide pengatur dalam lintas perspektif. Begitulah jika kita hermenutikkan dan dekonstruksikan kumpulan faktual sosial yang terjadi. 

Contoh kecilnya yaitu “ketika anda merasakan cinta kepada seseorang lalu mengatakannya sebenarnya itu sudah bukan cinta melainkan pandangan cinta menurut anda yang kau sajikan atas dasar keinginan, dan harapan, untuk memiliki orang itu. 

Dengan motif macam-macan yaitu penyaluran sensasi seksualitas anda, menghentikan kefanaan diri anda, menemani diri anda dll. Sehingga memoles cinta dengan narasi berbagai rupa”, hal itu juga berlaku bagi semua yang ideal dalam sensasi kepercayaan kita.

Fatamorgana teks sosial itu juga sebenaarnya terjadi dalam tulisan ini, berjalan dipenataran argumentasi sebagai sebuah diskursus. Teks dalam pemahaman Derrida adalah bukan hanya kata, atau kalimat. Melainkan teks adalah keseluruan yang ada di alam ini juga teks, jadi teks itu bermakna luas. Tentu akal kita kemudian bertanya lantas bagaimana yang disebut ideal? Jawabanya adalah kosong.

Menuju Kekosongan

Kosong bukanlah tak bernilai, melainkan dialah nilai sesungguhnya. Kosong bukanlah tidak ada, melainkan dialah ada. Kosong juga bukanlah tidak terisi, melainkan dialah isi sesungguhnya. Kosong tumbuh secara otentik tanpa aliran, ideologi, mazhab, bahkan fanatisme yang dibuat selama ini. Ontologisnya sejajar dengan apa yang diyakini selama ini oleh sensasi manusia yaitu surga, neraka, iblis, malaikat, dan bahkan tuhan. 

Ideal adalah kosong merupakan hakikat teks sosial yang tidak dijangkau oleh simulasi, simbol, bahkan wacana karna telah terlanjur menjadi bangunan sensasional manusia selama ini. Jadi ideal adalah kosong bukanlah perspektif Plato soal dunia idea, bukan ketidaktahuan socrates, bukan surga orang beragama, bukan kiamat orang beragama, dan bukan juga nihilisme Nietzsche. 

Melainkan sebuah kehadiran ideal yang absolut diluar relativisme alam, manusia, agama, dan mungkin bisa tuhan. Kegagapan serta kekakuan dalam percakapan argumentasi soal kosong itu akibat dari penjara perspekif atau gagasan-gagasan “manusia-manusia besar” selama ini yang telah dijadikan tata tertib di lintas perspektif manusia untuk wajib dilakukan. 

Rekayasa teks sosial itulah yang kemudian menciptakan sebuah hyperealitas (hiperealitas adalah realitas buatan yang dianggap real) bagi manusia, ini seakan bertentangan dengan peralatan manusia dalam menemukan aspek ideal di kehidupan manusia. Ideal yang sangat di impi-impikan oleh manusia hanya bisa ditemukan di dalam kekosongan manusia sendiri. 

Tak mudah memang, tetapi begitulah menemukan ideal dan walaupun begitu bukan berarti manusia tak bisa berada dalam kekosongan melainkan sangat bisa. Kekosongan manusia bukanlah kematian, bukan pula kesendirian, ataupun kesunyian.

Jacques Derrida hampir sama dengan Nietzsche, Foucault, dan Baudrillard melakukan “perdagangan gagasan”, sebagai proses penawaran merobek paradigma manusia yang telah terstukturalisasi dan terdogma di alam pemikiran manusia saat ini melalui teori dekonstruksi. Dekonstruksi Derrida melakukan overside terhadap teks sosial yaitu menggambarkan maksud teks sekaligus mengubah dengan makna baru.

Penawaran Derrida jika kita terjemahkan dalam soal ideal yang kini disensasikan oleh manusia adalah dengan menggambarkan maksud dari konsep ideal yang telah teramputasi oleh teks sosial, lalu menemukan makna baru secara hakiki. Friedrich Nietzsche juga kembali melakukan penawaran kepada kita sebuah konsep The Will To Power (kehendak untuk berkuasa). 

Tetapi patut kita garis bawahi bahwa konsep Nietzsche itu bukanlah ideal adalah kekosongan yang dimaksudkan, tetapi gagasan Nietzsche itu merupakan suatu “partitur” dari kebanyakan “partitur” diluar sana yang bersliweran sebagai peta lalu lintas melintasi kekosongan manusia. 

Penawaran Nietzsche itu tidaklah absolut melainkan bersifat relatif, walaupun begitu Nietzsche mampu membuka sela-sela lalu lintas yang kini telah terhalang oleh “kelongsoran” hegemoni pemikiran di alam pikir manusia.Partiturthe will to power Nietzsche menawarkan kita untuk dapat tiba pada kekosongan dengan mengikuti lalulintas “kuasa diri sendiri”. 

Maksud dari kuasa diri sendiri adalah dengan menjadi tuan atas diri sandiri tanpa dikatomi-dikatomi kuasa “orang-orang besar” dimana sebenarnya membuat kita hanya merumuskan aspek ideal yang telah teramputasi oleh hasrat-hasrat ideologi, politik, ekonomi, dan struktur budaya “blok-blok tertentu”. 

Kesimpulan

Tetapi gagasan-gagasan Derrida, Nietzsche, Foucault, dan Baudrillard juga hanyalah sebuah simulasi, dan wacana yang telah memenjarakan kita. Bahkan mereka adalah sebuah relativisme yang tak bisa di ikuti oleh kita, karena mereka bukanlah ideal adalah kekosongan. 

Lantas kita bertanya bagaimana sebenarnya lalulintas kekosongan dapat dicapai manusia? Jawabanya tanyakanlah kepada diri anda sendiri, berfilsafatlah sendiri, jawablah sendiri, dan rumuskanlah lalu lintas jalan anda sendiri. Anda akan mengetahui, anda telah tiba pada kekosongan atau belum.

Penulis: AHMAD R. IDIN 

Referensi

Wibowo, Setyo Wibowo. 2017. Gaya Filsafat Nietzsche. Yogyakarta : Kanisius.


Norris, Christopher. 2020. Membongkar Teori Dekonstruksi Jacques Derida. Yogyakarta : Buku Bijak. Penerjemah: Inyiak Ridwan Muzir.


Medhy A. Hidayat. 2012. Menggugat Modernisme (Mengenali Rentang Pemikiran Postmoderenisme Jean Baudrillard. Yogyakarta : Jalasutra.


Faucault, Michel. 2002. Power/Knowledge (Wacana Kuasa/Pengetahuan). Yogyakarta : Bentang Budaya. Penerjemah: Yudi Santoso.


Nietzsch, Friedrich W. 2019. The Will To Power. Yogyakarta: Buku Seribu.       Penerjemah : Een Juliani dan Yustikarini.

                                       

Post a Comment

Post a Comment