EjB3vSKmQo697EadCV9cGlL38GnDuoUNUgLqklCB
Bookmark

15 Jenis Kekerasan Seksual Menurut Komnas Perempuan

Kekerasan seksual semakin marak terjadi dalam kehidupan masyarakat, namun beberapa dari kita mungkin belum mengetahui apa itu kekerasan seksual? Untuk itu dalam pembahasan ini alangkah baiknya kita mengenal apa itu kekerasan seksual dan beberapa jenis-jenis kekerasan seksual.

15 Jenis Kekerasan Seksual Menurut Komnas Perempuan
Gambar. 15 jenis kekerasan seksual menurut komnas perempuan. Sumber. pixabay.com

Pengertian Kekerasan Seksuaal

Apa itu Kekerasan Seksual? Kekerasan seksual dapat dipahami sebagai segala bentuk tindakan baik ucapan maupun perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan masksud mengintimidasi, menguasai,memaksa dan atau memanipulasi orang lain untuk melakukan aktivitas seksual yang tidak dikehendaki/diinginkan.

Dilansir dari kemdikbud.go.id (26/05/2022) mengemukakan Kekerasan Seksual merupakan setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan dengan aman dan optimal.

15 Jenis Kekerasan Seksual

Berbicara tentang kekerasan seksual yang berdasarkan hasil pemantauan dari Komnas Perempuan selama 15 tahun (1998-2013) telah memberikan beberapa jenis-jenis kekerasan seksual. Adapun hal ini akan diuraikan, yaitu sebagai berikut:

1. Perkosaan

Jenis kekerasan seksual yang pertama adalah pemerkosaan, dan memang hal ini merupakan fenomena yang banyak sekali dialami oleh kaum perempuan. Santoso (1997:17) menguraikan pengertian perkoasaan menurut Black's Law Dictionary, yaitu suaatu hubungan seksual tapi melawan hukum atau tidak sah yang dilakukan tanpa sepertejuan oleh seorang perempuan.

Tindakan hubungan seksual yang dilakukan tanpa sepertujuan itu tidak sah karena adanya unsur paksaan serta bertentangan dengan kehendak korabannya. Bahkan tindakan seorang laki-laki terhadap perempuan yang bukan istrinya tanpa persetujuan itu, juga seringkali dibarengi dengan kekuatan dan membuat ketakutan.

Di sisi lain pemerkosaan dapat diartikan sebagai upaya hubungan seksual yang disertai unsur paksaan seperti mengarahkan penis ke vagin atau anus ke arah mulut korbannnya. Kemudian perilaku ini dilakukan dengan ancaman kekerasan, tekanan psikologis dan sebaagainya yang dapat merugikan korbannya. Bahkan tindakan pencabulan juga termasuk dalam hal ini.

2. Intimidasi Seksual termasuk Ancaman atau Percobaan Perkosaan

Intimidasi seksual adalah tindakan yang dilakukan dengan maksud untuk mengekang, menakut-nakuti, atau mempermalukan seseorang secara seksual. Intimidasi seksual dapat melibatkan perilaku yang mengancam, mendekati secara paksa, atau melecehkan secara verbal atau non-verbal.

Ancaman atau percobaan perkosaan adalah bentuk kekerasan seksual di mana seseorang mengancam atau mencoba memaksa seseorang lain untuk berhubungan seksual tanpa persetujuan mereka. Ini bisa meliputi ancaman fisik atau verbal, pemaksaan fisik, atau penolakan yang jelas dari satu pihak.

Kedua tindakan ini melibatkan penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak asasi manusia. Mereka menciptakan lingkungan yang tidak aman dan merugikan bagi korban, dengan dampak emosional dan psikologis yang serius.

Di sisi lain perilaku ini juga menimbulkan rasa takut atau penderitaan psikis pada perempuan yang menjadi korban. Kemudian hal ini bisa saja secara langsung maupun tidak langsung seperti melalui sms, surat, sosial media, email dan sebagainya. Seringkali hal ini dibarengi dengan ancaman untuk percobaan pemerkosaan, sehingga menjadi bagian dari intimidasi seksual.

Penting untuk diingat bahwa setiap bentuk intimidasi seksual dan percobaan perkosaan adalah pelanggaran hukum dan tidak dapat ditoleransi. Masyarakat dan lembaga hukum harus bekerja bersama untuk memerangi perilaku ini, mendukung korban, dan memastikan bahwa pelaku bertanggung jawab atas tindakan mereka.

3. Pelecehan Seksual

Pelecehan seksual dikenal sebagai istilah umum dan seringkali dipahami sebagai upaya untuk menggambarkan salah satu daari bentuk kekerasan seksual, nyatanya tindakan ini adalah bagian dari kekerasan seksual. Pelecehan seksual juga dapat dipahami sebagai perilaku seksual yang terjadi seperti sentuhan pada fisik maupun non fisik yang mengarah pada organ tubuh atau seksual pada korban.

Tindakan yang termasuk dalam pelecehan seksual yaitu seperti main mata, siulan, ucapan yang berunsur seksual, perilaku menjunkan konten pornografi disertai keinginan seksual, colekan maupun sentuhaan-sentuhan pada bagian tubuh korban. Kemudian hal itu juga disertai dengan isyarat yang membuat seseorang tidak nyaman, tersinggung, adanya perasaan direndahkan martabatnya serta menyebabkan masalah baik kesehatan maupun keselamatan.

4. Eksploitasi Seksual

Apa itu eksploitasi seksual? Yaitu tindakan yang melibatkan penyalahgunaan atau pemanfaatan seksual seseorang tanpa persetujuan yang jelas atau dalam keadaan yang tidak setara atau adanya ketimpangan. Tidak hanya itu tindakan ini juga dapat terjadi dalam berbagai konteks, seperti prostitusi, perdagangan manusia, pornografi anak, pelecehan seksual, pekerja seks komersial, dan situasi di mana seseorang dipaksa atau diperbudak untuk tujuan seksual.

Dengan demikian ekaploitasi seksual juga tidak hanya terjadi karena adanya penyalahgunaan kekuasaan. Hal itu juga seringkali melibatkan keyakinan atau penyalaahgunaan kepercayaan untuk bertujuan atau mendapatkan kepuasan seksual, keuntungan berupa uang, serta sosial dan politik.

Praktik eksploitasi seksual juga banya sekali digunakan dengan cara memanfaatkan kondisi perempuan, seperti kemiskinan atau menggunakan media dengan tujuan memasukan perempuan ke praktik pornografi atau prostitusi. Tidak hanya itu praktik lainnya seperti iming perkawinan sebagai upaya mendapatkan layanan seksual dan setelahnya ditinggaalkan, serta memanfaatk posisi perempuan dengan cara berpikir yang patriarkis.

Eksploitasi seksual sering kali melibatkan pelanggaran hak asasi manusia, pemerasan, kekerasan fisik atau psikologis, dan pengekangan kebebasan seseorang. Hal ini sering kali dilakukan oleh orang yang memanfaatkan posisi kekuasaan atau kerentanan korban untuk memperoleh keuntungan seksual atau materi.

Baca Juga:

Penting untuk dicatat bahwa eksploitasi seksual adalah pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia dan dianggap sebagai bentuk eksploitasi dan kekerasan yang tidak dapat diterima. Hukum di berbagai negara dan banyak organisasi internasional menganggap eksploitasi seksual sebagai tindakan kriminal dan berusaha untuk mencegah, mengatasi, dan menghukum pelaku serta melindungi korban.

5. Perdagangan Perempuan untuk Tujuan Seksual

Apa yang dimaksud dengan perdagangan perempuan untuk tujuan seksual? Yaitu suatu tindakan yang di dalamnya ada aktivitas merekrut, menampung, mengangkut, melakukan pengiriman dan memindahkan serta menerima seseorang. Kemudian hal itu dilakukan dengan ancaman, penggunaan kekerasan, penculikan atau penyekapan, adanya tindakan pemalsuan atau penipuan.

Tidak hanya itu perdagangan perempuan untuk tujuan seksual juga menyangkut tentang penyalahgunaan kekuasaan terhadap mereka yang dalam posisi rentan, adanya penjeratan uang atau seperti melakukan pembayaran untuk suatu manfaat baik korban secara langsung atau pada mereka yang menguasainya serta dengan tujuan seperti prostitusi atau yang dikenal dengan eksploitasi seksua dan bahka bisa dilakukan antara berbagai negara.

Di sisi lain perdagangan perempuan untuk tujuan seksual adalah pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia. Praktik ini melibatkan eksploitasi, pemaksaan, dan pelanggaran terhadap kemerdekaan, martabat, dan kebebasan individu. Komunitas internasional dan banyak negara telah mengadopsi hukum dan kebijakan untuk memerangi perdagangan manusia dan melindungi korban.

6. Pemaksaan Pelacuran

Pemaksaan pelacuran merujuk pada praktik memaksa individu, terutama perempuan dan anak perempuan, untuk terlibat dalam kegiatan seksual komersial tanpa persetujuan mereka sendiri. Ini adalah bentuk eksploitasi seksual yang melanggar hak asasi manusia dan sering kali melibatkan tindakan kekerasan fisik, psikologis, atau finansial terhadap korban.

Tindakan ini juga menggambarkan perempuan dalam siatuasi yang penuh tipu daya dan adanya ncaman serta kekerasan sebagai upaya menjadi pekerja seks. Bisanya hal dilakukan pada tahap rekrtumen, yang berupaya membuat perempuan tidak berdaya agar mereka tidak bisa lepas dari cengkraman prostitusi, seperti perlakuan penyekapan, penjeratan, tipu daya hutang serta adanya ancaman kekerasan.

Pemaksaan pelacuran dapat terjadi dalam berbagai konteks, termasuk perdagangan manusia, eksploitasi seksual komersial, atau prostitusi terorganisir. Beberapa faktor yang memperburuk risiko pemaksaan pelacuran termasuk ketidakadilan gender, ketimpangan ekonomi, kemiskinan, konflik bersenjata, migrasi paksa, dan ketidaktahuan akan hak-hak individu.

Para pelaku pemaksaan pelacuran seringkali memanfaatkan kerentanan dan kebutuhan korban. Mereka dapat menggunakan metode yang kejam, seperti ancaman, penganiayaan fisik, penahanan, penyiksaan, atau pemerkosaan untuk memaksa korban melibatkan diri dalam kegiatan seksual komersial. Pelaku juga dapat mengontrol korban dengan membatasi akses mereka terhadap kebebasan pribadi, mengendalikan keuangan mereka, atau mengancam keluarga atau orang-orang terdekat mereka.

Pemaksaan pelacuran memiliki dampak yang merugikan bagi korban secara fisik, emosional, dan psikologis. Mereka mungkin mengalami cedera fisik, infeksi penyakit menular seksual, kecanduan zat, gangguan mental, depresi, kecemasan, trauma, dan pemerkosaan. Selain itu, stigma sosial dan diskriminasi terhadap pekerja seks komersial juga dapat memperburuk situasi korban dan menghambat akses mereka terhadap bantuan dan dukungan.

Pemerintah, lembaga internasional, dan organisasi non-pemerintah telah melakukan upaya untuk memerangi pemaksaan pelacuran. Langkah-langkah yang dilakukan termasuk penegakan hukum yang lebih ketat terhadap perdagangan manusia dan eksploitasi seksual, pendidikan dan kesadaran masyarakat tentang bahaya dan akibat buruk dari pemaksaan pelacuran, menyediakan layanan bantuan dan perlindungan bagi korban, serta pemberian alternatif ekonomi dan pendidikan untuk mengurangi ketidaksetaraan dan kemiskinan yang dapat menjadi faktor pendorong pemaksaan pelacuran.

Penting bagi masyarakat secara keseluruhan untuk menyadari pentingnya menghormati hak asasi manusia, melawan kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan, serta mendukung upaya yang bertujuan untuk menghentikan pemaksaan pelacuran dan mendukung korban yang selamat.

7. Perbudakan Seksual

Perbudakan seksual dapat melibatkan perempuan, pria, atau anak-anak, meskipun perempuan dan anak perempuan merupakan kelompok yang paling rentan. Korban perbudakan seksual seringkali terjebak dalam lingkaran eksploitasi yang melibatkan pemaksaan, ancaman, kekerasan fisik atau psikologis, dan kontrol penuh oleh para pelaku.

Para pelaku perbudakan seksual memanfaatkan kerentanan korban, termasuk kemiskinan, ketidaksetaraan gender, ketimpangan kekuasaan, ketidakadilan sosial, konflik bersenjata, dan migrasi paksa. Mereka dapat merekrut korban melalui penipuan, penculikan, penjualan manusia, atau penjualan anak-anak oleh keluarga mereka sendiri. Selain itu, internet dan teknologi modern telah memungkinkan perluasan perdagangan seksual secara online, termasuk prostitusi daring dan pornografi anak.

Korban perbudakan seksual mengalami dampak yang parah secara fisik, emosional, dan psikologis. Mereka rentan terhadap kekerasan seksual, penyakit menular seksual, trauma fisik, depresi, kecemasan, gangguan stres pasca-trauma, kehilangan harga diri, isolasi sosial, dan masalah kesehatan yang berkelanjutan. Stigma dan diskriminasi juga sering kali dialami oleh korban perbudakan seksual, yang mempersulit akses mereka terhadap bantuan dan pemulihan.

Organisasi internasional, pemerintah, dan LSM di seluruh dunia telah bekerja sama untuk memerangi perbudakan seksual. Upaya ini termasuk penegakan hukum yang lebih ketat terhadap perdagangan manusia, pencabutan hukuman bagi korban, penyediaan layanan perlindungan dan pemulihan, kampanye kesadaran masyarakat, dan kerjasama internasional untuk memerangi perdagangan manusia lintas negara.

Penting untuk terus meningkatkan kesadaran tentang perbudakan seksual, menghormati hak asasi manusia, melindungi korban, menghukum para pelaku, dan menciptakan sistem yang mencegah dan mengatasi perbudakan seksual. Dukungan dan partisipasi masyarakat secara luas diperlukan untuk memberantas perbudakan seksual dan memastikan bahwa semua individu dapat hidup dengan martabat dan kebebasan.

8. Pemaksaan Perkawinan

Pemaksaan perkawinan, juga dikenal sebagai pernikahan paksa atau pernikahan yang dipaksa, merujuk pada praktik di mana seseorang dipaksa atau ditekan untuk menikah tanpa persetujuan atau kehendak mereka sendiri. Ini melibatkan pelanggaran hak asasi manusia dasar, termasuk hak untuk kebebasan, kehormatan, dan martabat diri.

Pemaksaan perkawinan dapat terjadi dalam berbagai konteks budaya, agama, dan sosial di seluruh dunia. Motivasi di balik pemaksaan perkawinan dapat bervariasi, termasuk faktor ekonomi, keberlanjutan tradisi, kehormatan keluarga, pengendalian seksualitas, kekerasan gender, dan perjanjian politik atau sosial antara keluarga.

Korban pemaksaan perkawinan sering kali adalah perempuan dan anak perempuan, meskipun laki-laki juga dapat menjadi korban dalam beberapa kasus. Mereka yang dipaksa menikah sering kali menghadapi dampak negatif yang serius terhadap kesejahteraan fisik, emosional, dan psikologis mereka. Mereka mungkin mengalami penyalahgunaan fisik, kekerasan dalam rumah tangga, kehamilan yang tidak diinginkan pada usia yang masih terlalu muda, serta keterbatasan akses terhadap pendidikan, kesempatan pekerjaan, dan pengembangan pribadi.

Upaya telah dilakukan di berbagai tingkat, baik nasional maupun internasional, untuk melawan pemaksaan perkawinan. Banyak negara telah mengadopsi undang-undang dan kebijakan yang melarang praktik ini dan memberikan perlindungan hukum kepada individu yang terancam atau telah menjadi korban pemaksaan perkawinan. Organisasi hak asasi manusia, kelompok advokasi, dan masyarakat sipil juga berperan penting dalam meningkatkan kesadaran, menyediakan dukungan, dan bekerja untuk menghentikan pemaksaan perkawinan.

Penting untuk memahami dan mengakui bahwa pemaksaan perkawinan adalah pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia dan tidak dapat dibenarkan dalam konteks apa pun. Perlindungan dan dukungan harus diberikan kepada individu yang berisiko atau telah menjadi korban pemaksaan perkawinan, dan langkah-langkah lebih lanjut harus diambil untuk mencegah terjadinya praktik ini secara luas.

9. Pemaksaan Kehamilan

Jenis kekerasan seksual ini menggambarkan kondisi atau situasi pada perempuan yang dipaksa untuk konteks kehamilan. Kemudian hal itu juga disertai dengan tindakan kekerasan atau ancaman sebagai upaya melanjutkan kehamilan, walaupun hal itu tidak sesuai dengan yang perempuan kehendaki. 

Di sisi lain bisa berupa di mana seorang suami menghalangi istrinya untuk mmenggunakan alat kontrasepsi agar istrinya bisa mangatur jarak atau proses kehamilannya sendiri. Tidak hanya itu situasi pemaksaan kehamilan ini sebenarnya tidak sama dengan kondisi kehamilan paksa sebagaimana pada kejahatan kemanusiaan seperti pada Statua Roma.

Pada Statua Roma situasi perempuan disertai dengan adanya pembatasan dalam konteks melawan hukum pada perempuan agar bisa hamil secara paksa, hal itu dengan tujuan membuat komposisi suatu etnis terhadap bagian dari populsi tertentu atau adanya upaya melakukan pelanggaran terhadap hukum internasional.

10. Pemaksaan Aborsi

Bentuk pemaksaan aborsi dapat dipahami seperti adanya tindakan dalam mengugurkan kandungan seorang perempuan, dan hal itu dilakukan baik dengan penuh ancaman, tekanan, maupun paksaan pada seseorang yang menjadi korbannya.

11. Pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi

Pemaksaan penggunaan alat kontrasepsi dan sterilisasi yaitu pemasangan alat kontrasepsi dan/atau pelaksanaan sterilisasi tanpa persetujuan dari perempuan karena ia tidak mendapat informasi yang lengkap ataupun dianggap tidak cakap hukum untuk dapat memberikan persetujuan. 

12. Penyiksaan Seksual

Penyiksaan seksual dapat dipahami sebagai suatu tindakan yang bersifat menyerang organ dan seksualitas khususnya pada perempuan. Hal ini dilakukan secara sengaja dan dapat menimbulkan penderitaan yang hebat serta rasa sakit, baik itu pada seksual, rohani dan jasmani.

Penyiksaan seksual ini cenderung dilakukan sebagai upaya memperoleh pengakuan maupun keterangan diri atau yang berasal dari orang ketiga, hal ini dilakukan dengan alasan untuk menghukum seseorang atas tindakan baik baru berupa dugaan atau telah dilakukan terhadapnya atau pada orang ketiga.

Bentuk penyiksaan seksual ini bisa saja dilakukan baik itu berupa ancaman atau paksaan atau berasal dari orang ketiga. Biasanya hal ini dilakukan berdasarkan pada tindakan diskriminatif dengan beragam alasan-alasan. Hal ini bisa digambarkan seperti penderitaan yang diakibatkan seperti hasutan, persetujuan baik itu sepengetahuan dari pejabat publik maupun para penegak hukum.

13. Penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual

Tindakan ini digambarkan seperti suatu tindakan untuk menghukum akan tetapi hal itu menyebabkan suatu penderitaan, rasa sakit, ketakutan serta adanya rasa malu yang berlebihan. Hal ini dapat berupa seperti tindakan hukuman cambuk, adanya unsur untuk mempermalukan dan merendahkan kemanusiaan seseorang dengan alasan melanggar norma atau nilai kesusilaan.

14. Praktik tradisi yang membahayakan atau mendiskriminasi perempuan bernuansa seksual

Jenis kekerasan seksual lainnya adalah suatu praktik pada suatu tradisi yang adanya unsur seksual dan itu dapat membahayakan atau ada tindakan diskriminasi terhadap perempuan. Hal ini biasanya terjadi dengan beragam alasan seperti budaya dan agama, kemudian di dalamnya terdapat nuansa seksual yang dapat menimbulkan cidera baik itu secara fisik, psikologis maupun seksual terhadap perempuan.

Jenis kekerasan seksual ini yang berdasarkan agam dan budaya ini bisa saja terlihat seperti kebiasaan masyarakat, yang salah satu sontohnya ketika melakukan sunatan pada perempuan. Sehingga kebiasaan ini juga dapat dianggap sebagai kekerasan seksual, karena dianggap adanya unsur dalam mengontrol seksualitas atau merendahkan perempuan.

15. Kontrol seksual 

Jenis berikutnya adalah kontrol seksual, hal ini sangat berakar dari cara berpikir pada suatu masyarakat, yang terlihat memberikan simbol atau label seperti perempuan yang baik-baik dan nakal. Seakan-akan dengan mudah menghakimi dan bahkan seringkali menyalahkan perempuan apabila terjadi kekerasan seksual, padahal tindakan ini merupakan bentuk kontrol seksual pada kaum perempuan.

Bentuk kontrol seksual ini bisa berupa kekerasan baik yang dilakukan secara langsung maupun tidak, seperti tindakan mengancam atau pemaksaan pada perempuan misalnya apa yang baik dan buruk untuk digunakan perempuan. Hal ini terlihat sebagaimana pada pemaksaan pakaian dan penilaian yang dikenakan oleh perempuan dan sebagainya.

Referensi


Santoso, Topo. 1997. Seksualitas Dan Hukum Pidana. Jakarta: IND.HILL-CO.


https://komnasperempuan.go.id/instrumen-modul-referensi-pemantauan-detail/15-bentuk-kekerasan-seksual-sebuah-pengenalan


https://merdekadarikekerasan.kemdikbud.go.id/

Post a Comment

Post a Comment