EjB3vSKmQo697EadCV9cGlL38GnDuoUNUgLqklCB
Bookmark

Krisis Identitas Masyarakat Konsumtif

Menjelang tibanya milenium ketiga, kita memasuki wilayah kebudayaan kontemporer yang seakan mengajak kita dalam dunia dengan penuh ilusi maupun halusinasi. Dalam kehidupan masyarakat dengan bentuk kebudayaan berwajah baru, telah memandang suatu kehidupan hanya untuk mengejar citra. Begitu banyak yang di bangunnya, tetapi banyak pula yang di renggut dan di hancurkannya, (Piliang: 1998).

Krisis Identitas Masyarakat Konsumtif
Gambar. Krisis Identitas Masyarakat Konsumtif. Sumber. pixabay.com

Cogito ergo sum aku berpikir, maka aku ada” merupakan ungkapan yang di populerkan Rene Descartes dan sempat menjadi jiwa bagi setiap generasi untuk menjadi lebih rasional dalam berpikir maupun bertindak. Namun seiring berjalannya waktu makna yang dikandungnya seakan mulai memudar dengan berkembangnya kenyataan sosial yang semakin pesat.

Dalam hal ini berubahnya makna juga akan mengubah pernyataan menjadi “aku berbelanja, maka aku ada”, sebuah ungkapan yang tepat untuk masyarakat saat ini. Seperti apa yang dikatakan Jean P. Baudrillard dalam Masyarakat Konsumsi, “sekarang ini adalah era di mana orang membeli barang bukan karena nilai kemanfaatannya namun karena gaya hidup”.

“Kita bagaikan sebuah kapal kosong tak memiliki arah tujuan. Kita berjalan dan meraba-raba bagaikan orang buta.” (David Michel Levin)

Dunia Konsumtif

Dunia baru dengan era globalisasinya menghadapkan suatu kebudayaan yang menjadikan masyarakat konsumer, yakni masyarakat yang menciptakan nilai-nilai yang berlimpah-ruah melalui barang-barang konsumer, serta menjadikan konsumsi sebagai pusat aktivitas kehidupan. 

Kondisi kehidupan masyarakat konsumer sekarang ini adalah sebuah kondisi yang di dalamnya hampir seluruh energi dipusatkan bagi pelayanan hawa nafsu_nafsu kebendaan, kekayaan, kekuasaan, seksual, ketenaran, popularitas, kecantikan, keindahan dan kesenangan. Sementara hanya menyisakan sedikit ruang bagi penajaman hati, penumbuhan kebijaksanaan dan pencerahan spiritual. 

Hal ini seakan membuat suatu perjuangan hidup menuju pada dunia visual“ Kini tak ada lagi perjuangan revolusioner yang dapat hidup tanpa penghambaan diri dari pembebasan pelepasan hawa nafsu ”,Demikian kata Felix Guattari, dalam bukunya yang berjudul Molecular Revolution: Psychiatry and Politics.

Fenomena yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat konsumen telah di warnai dengan kegembiraan kegiatan konsumsi dan hampir tidak ada ruang lagi untuk menghindarkan diri dari serbuan berbagai informasi melalui beragam macam sumber yang entah itu media sosial, cetak, online dan televisi. 

Terlebih lagi media online tidak membatasi persoalan usia terhadap masyarakat secara umum, hal ini akan mempengaruhi dan menjadi ‘bencana virtual’ bagi masyarakat yang terlibat di dalamnya. Seperti yang dimaksud oleh Yasraf Amir Piliang “bila bencana dapat di definisikan sebagai kejadian tiba-tiba yang menyebabkan kehancuran dan kerugian materil maupun nonmateril, maka  bencana virtual adalah bencana yang di rencanakan berdasarkan skenario”.

Menuju Masyarakat Konsumtif

Dalam masyarakat konsumtif gairah untuk berbelanja akan semakin meningkat, kerena kegemaran dalam membelanjakan uangnya untuk di konsumsi. Sifat konsumtif ini sangat merugikan, sebab seseorang membeli barang bukan karena kebutuhan, namun hanya untuk kesenangan maupun karena iming-iming diskon yang besar terhadap suatu barang. 

Apalagi dengan bermunculannya produk-produk baru yang seringkali termuat dalam iklan-iklan di media, dan juga banyak kegiatan usaha yang memanfaatkan media untuk mempromosikan produknya, sehingga dapat mempengaruhi siapa saja yang melihat. Adapun berbagai macam iklan yang seakan memaksa kita untuk melihatnya. 

Misalkan, di saat seseorang menonton video di youtube ataupun di facebook seringkali muncul iklan  berupa video dengan durasi yang  mengganggu dan menutupi video yang di tonton, padahal tak ada seorangpun yang ingin melihat dan menontonnya. Keresahan akan hal ini seakan merasakan bahwa ada sebuah pemaksaan dan penjajahan atas hasrat dan psikologis sesorang untuk memasuki dunia visual yang sedang di buat-buat oleh suatu sistem perekonomian global.

Begitu cepatnya perkembangan teknologi informasi saat ini telah membuat suatu masyarakat mengalami kepanikan dalam menerimanya, sehingga tak lagi melihat kemanfaatannya dalam   basis moral maupun spirit keagamaan dan tanpa mampu memahami logikanya, karena semua itu hanya untuk memenuhi hasrat dalam meningkatkan kesempurnaan fisik.

Dengan berbagai serbuan informasi seperti ini membuat suatu masyarakat menjadi terekstasi yang penuh dengan keterpesonaan dan kemabukan akan sesuatu yang di konsumsi melalui komputer dan internet. Howard Rheingold dalam Piliang (2004), menyebut “komputer sebagai sebuah mesin yang mampu mengangkat manusia terbang menuju pengalaman puncak, termasuk pengalaman puncak seksual yang semacam mesin ekstasi”. 

Misalkan, pornografi yang membuka ruang ekonomi libido yakni, sebuah sistem ekonomi yang cenderung melepas katup nafsu kepuasan, ini akan berdampak pada tindakan pelecehan seksual, seperti pemerkosaan dan tindakan kriminal lainya terhadap masyarakat.

Menuju Krisis Identitas

Saat ini sebagai masyarakat konsumtif, bukan lagi memaknai Tuhan yang ghaib yang telah di yakininya sebagai sesuatu yang berasal darinya dan kembali padanya, yaitu yang awal dan akhir. Tetapi sebagai masyarakat yang terekstasi dan penuh kemabukan juga keterpesonaan telah mengaggungkan komoditi sebagai berhala-berhala kontemporer.  

Fenomena seperti ini telah menyebar ke sebagian wilayah di dunia ini dan indonesia tentunya, yang mayoritas penduduknya beragama islam, telah mengalami ancaman akan sebuah tranparansi kebudayaan yang dapat melunturkan nilai-nilai keislaman maupun kultural umat muslim itu sendiri. Yakni melalui teknologi informasi yang membuat penganutnya melupakan ritual-ritual keagamaan untuk mengagungkan Tuhan yang maha kuasa. 

Dalam hal ini masyarakat konsumtif telah menghilangkan makna Tuhan dan seakan menggantikan teknologi dan informasi sebagai ‘tuhan’ virtual, sehingga mengantarkan suatu kehidupan pada fase libidosofi yakni, “ketika dunia dikuasai oleh ide, gagasan, citra, objek, yang merupakan refleksi dari hasrat-hasrat; ketika hasrat mengalir tanpa batas sehingga sampai pada satu titik manusia merasa tidak memerlukan lagi kehadiran Tuhan. Inilah fase dimana ketika teknologi di kuasai sepenuhnya oleh hasrat manusia, ketika teknologi menjadi tempat pelepasan hasrat manusia” (Piliang: 2004).

Sebagaimana iman seakan menjadi mitos jikalau tidak dibarengi dengan tata nilai rabaniyah, yakni orang-orang yang punya semangat ketuhanan dan menjalani kehidupan dengan sadar bahwa semua yang di lakukan akan di awasi oleh sang khaliq. Dalam hal ini sudah seharusnya suatu masyarakat muslim, meninjau kembali apa yang saat ini di yakini sebagai pedoman hidup dalam menghadapi sebuah transparansi kebudayaan di era jaringan global demi menegakan “amar ma’ruf nahi munkar”.

Untuk meninggalkan pemuajaan pada berhala-berhala kontemporer berupa komoditi dengan kesenangan berbelanja yang irasional dan menjadikannya sebagai ritual. Maka iman bukanlah sekedar percaya, karena iblis pun percaya pada Tuhan. Untuk itu iman, ilmu dan amal sudah seharunya menjadi penerapan yang kongkrit dalam kehidupan sehari-hari, sebagaimana ibadat merupakan sebuah institusi iman.

“Dalam pengertian yang lebih luas, ibadat mencakup keseluruhan kegiatan manusia dalam hidup di dunia ini, termasuk kegiatan “duniawi” sehari-hari, jika kegiatan itu dilakukan dengan niat pengabdian dan penghambaan diri kepada Tuhan, yakni sebagai tindakan bermoral” (Nurcholis Madjid: 2008).

Dengan Al-qur’an dan hadits sebagai rujukanya, yang kemudian dapat mengatasi berbagai serbuan informasi yang dapat melunturkan nilai-nilai keislaman, maka dalam hal ini perlu mempelajari, menghayati juga mengamalkan hal-hal yang diterangkan dan yang harus di tinggalkan apa yang dilarang. Pada akhirnya semua kembali pada pembinaan generasi penerus dimulai dari lingkungan keluarga dalam menanamkan nilai-nilai keagamaan.

Post a Comment

Post a Comment